Pertanian berkelanjutan merupakan tantangan besar dalam dunia pertanian saat ini. Semakin sempitnya lahan pertanian dan tingginya kebutuhan terhadap pangan akan memengaruhi sistem pertanian yang diterapkan. Sistem pertanian terpadu secara konseptual merupakan solusi dalam mendukung visi pertanian berkelanjutan di Indonesia, khususnya dalam mendukung petani kecil di desanya. Praktik pertanian terpadu secara tradisional yang dilakukan petani lokal di Desa Haurngombong, Sumedang, Jawa Barat, menarik untuk dikaji secara seksama karena ketahanan pangan pada era pandemi ini menjadi masalah yang lebih serius. Secara umum petani Desa Haurngombong melakukan kegiatan beternak sapi perah selain bertani. Petani juga memanfaatkan limbah dari kegiatan bertani-ternak untuk membuat pupuk dan memproduksi biogas untuk menunjang ketahanan pangan dan energi dari rumah tangga petani. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan kelayakan usaha pertanian terpadu di Desa Haurngombong untuk menunjang kemandirian pangan, menganalisis dan menilai keberlanjutan sistem usahatani terpadu di Desa Haurngombong; dan mengidentifikasi faktor kunci penentu keberlanjutan untuk pengembangan usaha pertanian terpadu di Desa Haurngombong pada masa depan. Penelitian ini dilakukan dengan survei yang melibatkan 30 responden dengan menggunakan purposive sampling. Petani di Desa Haurngombong didominasi oleh usia diatas 55 tahun, pendidikan rendah (SD dan sederajat) dan luas lahan garapan yang relatif sempit (kurang dari 0,3 hektar). Irigasi yang tidak mencukupi juga menjadi permasalahan utama, terutama pada usahatani padi sawah sehingga petani seringkali memanfaatkan lahan sawahnya untuk menanam palawija pada musim kemarau. Desa Haurngombong pada periode tahun 2007-2009 pernah disematkan sebagai desa mandiri energi, namun status itu tidak bisa dipertahankan lagi karena hanya 12,5 persen petani yang menggunakan
energi alternatif biogas. Usaha pertanian terpadu padi sawah dengan sapi perah di Desa Haurngombong dinyatakan layak karena memiliki Revenue/Cost (R/C) rasio lebih dari 1 yaitu masing masing sebesar 1,85 dan 1,48 dan dapat dikatakan kedua usaha memiliki keuntungan yang cukup signifikan apabila petani memiliki lahan minimal 1 hektar dan ternak sapi perah sebanyak 6 ekor per keluarga tani. Secara multidimensi, hasil analisis usaha pertanian terpadu di Desa Haurngombong menunjukkan kategori kurang berkelanjutan dengan nilai 44,86; namun secara dimensional pada dimensi sosial-budaya menunjukkan kategori cukup berkelanjutan dengan nilai 54,27. Ada 5 faktor kunci penentu keberlanjutan pengembangan usaha pertanian terpadu di Desa Haurngombong yaitu (1) ketersediaan air, (2) ketersediaan saluran irigasi, (3) stabilitas harga, (4) subsidi pemerintah terhadap input, dan (5) aksesibilitas pasar. Beberapa intervensi diperlukan untuk meningkatkan kinerja faktor kunci di atas. Intervensi dapat dilakukan oleh instansi pemerintah daerah, perguruan tinggi dan LSM seperti dalam bentuk program dan dukungan keuangan, pelatihan dan lokakarya di bidang bisnis dan manajemen, serta pengenalan teknologi terapan yang relevan terkait sistem usahatani terpadu. Model usaha pertanian terpadu di Desa Haurngombong berpotensi mengakomodir pemberian konsentrat kepada 85 ekor sapi perah (25% dari total populasi sapi perah) dengan menghemat pemberian pakan ternak berupa konsentrat sebanyak 111.726 kg/tahun dan biaya pemberian pakan sebesar Rp335.179.392 per tahun. Selain itu juga sistem ini berpotensi untuk menghemat biaya pemupukan sebesar Rp155.648.000 atau menghemat sebesar 19,61% dari total pembiayaan untuk pupuk dalam satu tahun (Rp793.600.000).