Kecenderungan meningkatnya kebutuhan energi migas membuat pencarian akan sumber
migas baru menjadi sangat penting. Cekungan Tarakan merupakan salah satu cekungan
hidrokarbon potensial yang berada di Provinsi Kalimantan Utara. Cekungan Tarakan
terbagi menjadi empat sub-cekungan, yaitu Sub-Cekungan Tarakan, Sub-Cekungan
Tidung, Sub-Cekungan Muara, dan Sub-Cekungan Berau. Daerah penelitian terletak pada
Sub-Cekungan Tarakan yang sebagian besar wilayah Sub-Cekungan Tarakan ini berada
di main depocenter, sehingga memungkinkan terjadinya akumulasi sedimen dalan jumlah
besar dan pematangan batuan induk.
Eksplorasi pada cekungan ini sudah dilakukan sejak 50 tahun yang lalu. Setelah beberapa
tahun melakukan survei lapangan dan menemukan rembesan minyak serta gas, barulah
dimulai pengeboran pada awal tahun 1987. Namun, produksi minyak bumi pada
Cekungan Tarakan semakin menurun dari tahun ke tahun, sehingga dilakukan berbagai
upaya untuk meningkatkan kembali produksi minyak dan gas bumi.
Penelitian dilakukan pada 10 sumur yang terletak di lapangan X yang mewakili empat
formasi yaitu, Formasi Naintupo, Formasi Meliat, Formasi Tabul, dan Formasi Santul
yang berumur Miosen. Terdapat perbedaan pendapat dari beberapa peneliti terdahulu
mengenai batuan induk yang berpotensi di cekungan tersebut, sehingga menjadi menarik
untuk dikaji lebih lanjut dengan mengevaluasi batuan induk penghasil hidrokarbon
dengan melakukan analisis secara geologi dan geokimia.
Evaluasi batuan induk ini menggunakan sampel yang telah divalidasi terlebih dahulu,
untuk selanjutnya dilakukan penentuan karakteristik batuan induk dengan menganalisis
kekayaan batuan induk, tipe kerogen, dan analisis tingkat kematangan batuan induk.
Analisis TOC (total material organik) berguna untuk menentukan tingkat kekayaan
batuan induk. Penentuan tipe kerogen didapatkan dengan melakukan analisis pada hasil
pirolisis batuan. Data pantulan vitrinit (Ro) digunakan dalam menganalisis tingkat
kematangan batuan induk. Penentuan karakteristik minyak bumi dapat dilakukan dengan
analisis biomarker melalui metode kromatografi gas dan kromatografi gas-spektrometri
massa. Analisis ini bertujuan untuk menentukan asal material organik, lingkungan
pengendapan, tingkat kematangan, dan korelasi minyak bumi terhadap batuan induk.
Setelah keseluruhan analisis geokimia dilakukan, penelitian dilanjutkan dengan
menentukan jalur migrasi pada daerah penelitian dengan mengintegrasi hasil korelasi
geokimia minyak dan batuan induk , peta struktur kedalaman dan penampang seismik di
daerah penelitian.
Berdasarkan hasil analisis batuan induk, formasi yang berpotensi menjadi batuan induk
pada cekungan ini adalah Formasi Naintupo, Formasi Meliat, dan Formasi Tabul,
sedangkan Formasi Santul belum memenuhi syarat kematangan. Formasi Naintupo
memiliki TOC cukup sampai sangat baik (0,64-2,82 %), tersusun oleh kerogen tipe II dan
III yang menunjukkan kematangan sampai dengan lewat matang (0,48-1,74%). Formasi
Meliat memiliki TOC cukup sampai istimewa (0,5-12,57 %), tersusun oleh kerogen tipe
II dan III yang menunjukkan kematangan sampai puncak matang (0,45-0,74%). Formasi
Tabul memiliki TOC cukup sampai istimewa (0,51-19,58 %), tersusun oleh kerogen tipe
II dan III yang menunjukkan kematangan sampai puncak matang (0,29-0,75%).
Analisis biomarker sampel minyak dan batuan induk menunjukkan korelasi positif antara
setiap parameter biomarker, yaitu alkana normal, isoprenoid, triterpana, dan sterana,
kecuali pada tingkat kematangan batuan induk yang diyakini lebih matang pada kondisi
yang berbeda. Material organik keduanya tersusun atas material organik tumbuhan tinggi
dan sedikit alga yang diendapkan di lingkungan fluviodeltaik. Arah migrasi didominasi
oleh arah vertikal atau ke formasi yang lebih muda.