Produksi minyak di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1885 ketika sumur minyak pertama di Indonesia berhasil berproduksi. Faktor pemulihan yang rendah mengakibatkan produksi minyak di Indonesia telah menurun sejak tahun 1995 karena kurangnya eksplorasi dan investasi pada sektor minyak bumi. Target produksi minyak yang telah ditetapkan oleh pemerintah pada setiap awal tahun selalu gagal dicapai karena kebanyakan produksi minyak di Indonesia berasal dari lapangan minyak yang sudah termasuk ke dalam kategori lapangan tua. Diperlukan suatu upaya eksplorasi yang terintegrasi antara aspek-aspek geologi, geofisika, dan geokimia hidrokarbon untuk menemukan kemungkinan cadangan hidrokarbon baru di Indonesia. Tingginya tingkat permintaan dibandingkan dengan tingkat produksi minyak dan gas bumi, dapat menyebabkan terjadinya krisis energi. Cekungan Sumatera Utara adalah salah satu lapangan minyak produktif di Indonesia. Formasi Baong dan Bampo dengan lingkungan laut telah dianggap sebagai batuan induk regional di sistem minyak bumi di Cekungan Sumatera Utara. Namun, beberapa penemuan minyak di Cekungan Sumatera Utara cenderung memiliki lingkungan lakustrin dan fluvial berdasarkan data geokimia hidrokarbon. Formasi yang memiliki lingkungan kontinental adalah Formasi Parapat. Namun, analisis geokimia belum dilakukan secara detail khususnya pada Formasi Parapat. Penelitian dilakukan pada Formasi Bampo dan Parapat di Cekungan Sumatera Utara yang diduga memiliki potensi sebagai batuan induk. Data yang digunakan berupa data geokimia, dan geologi yang berasal dari 11 sumur. Data geokimia yang tersedia adalah Total Organic Carbon (TOC), Rock Eval Pyrolysis (REP), Vitrinite Reflectance (VR), Gas Chromatography (GC), dan Gas Chromatography–Mass Spectrometry (GC-MS). Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui karakter batuan induk antara lain kuantitas, kualitas, tipe serta tingkat kematangan dan karakter hidrokarbon berdasarkan data geokimia di Formasi Bampo dan Parapat.
TOC pada Formasi Bampo memiliki nilai bervariasi dari1,04%-2,5% dan Formasi Parapat memiliki rentang nilai 0,5%-2,7%. Tipe kerogen yang dominan adalah tipe II (minyak) pada Formasi Bampo dan tipe II/III (minyak dan gas) pada Formasi Parapat. Tingkat kematangan Formasi Bampo dan Parapat berada dalam tahap belum matang sampai terlewat matang dan sangat dipengaruhi oleh kedalaman penguburan formasi tersebut. Pada umumnya, kematangan sudah dimulai pada kedalaman penguburan sekitar 6000 kaki. Kawasan terban mempunyai tingkat kematangan matang hingga terlewat matang terutama pada terban yang lebih dalam, misalnya Terban Lhosukon, Terban Jawa, dan Terban Timpang. Formasi Bampo memiliki lingkungan pengendapan laut dangkal hingga laut dalam sedangkan Formasi Parapat memiliki lingkungan pengendapan berupa lakustrin hingga dataran fluvial-deltaik. Interpretasi organofasies pengendapan Formasi Parapat terletak pada daerah tipe D dan E atau daerah transisi. Organofasies tipe D dan E memiliki ciri-ciri yaitu komposisi unsur sulfur yang sedikit, dominan tersusun oleh material organik berupa tumbuhan tinggi, resin, kutikel dan bakteri, serta dominan menghasilkan hidrokarbon berupa gas.
Hidrokarbon pada daerah penelitian tergolong ke dalam dua famili. Famili minyak pertama dan kedua memiliki karakteristik sumber material organik campuran tumbuhan tingkat tinggi dengan alga, kondisi anoksik–suboksik, dan dari batuan sumber serpih. Perbedaan antara kedua famili minyak yaitu famili minyak pertama terendapkan pada lingkungan estuarin, sedangkan famili minyak kedua di lingkungan lakustrin-estuarin. Kedua famili minyak berkorelasi positif dengan Formasi Parapat, Namun, berdasarkan isotop karbon, sampel minyak tidak berkorelasi dengan sampel batuan Formasi Parapat. Hal ini dapat disebabkan karena lokasi sumur pada umumnya berada di daerah sembul, sedangkan minyak berasal dari daerah terban sehingga sudah memiliki karakteristik yang sedikit berbeda.