Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu kebijakan strategis pemerintah
Indonesia dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sosial. Hal ini
terlihat dari alokasi anggaran pembangunan infrastruktur yang terus meningkat
dari 256,1 Triliun Rupiah (2015) ke 423,3 Triliun Rupiah (APBN 2020).
Peringkat daya saing infrastruktur Indonesia (CGI, 2019) masih tertinggal di
kawasan Asia Tenggara (ASEAN) ) di bawah Singapura, Malaysia, Brunei,
Thailand dan berada pada peringkat 72 dari 141 negara secara global. Pemerintah
Indonesia mengusulkan paradigma baru dalam pendanaan infrastruktur
(Bappenas, 2018) dengan menjadikan APBN/APBD sebagai sumber daya terakhir
(last resource). Pemerintah kemudian mendorong peran swasta melalui skema
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) baik User Payment dan
Availability Payment (AP). Pengadaan infrastruktur dengan skema AP masih
jarang dilakukan terutama oleh pemerintah daerah tingkat Kabupaten/Kota (hanya
Bandar Lampung Water Supply dan West Semarang Water Supply yang sudah
terlaksana). Beberapa kota sudah mulai mencoba mengaplikasikan skema AP,
salah satunya Kota Bandung dengan Proyek Penerangan Jalan Umum. Diperlukan
analisis Value for Money (kualitatif dan kuantitatif) untuk memberikan informasi
apakah skema AP lebih baik dibandingkan skema tradisional terutama untuk
infrastruktur sosial yang baru akan diterapkan skema AP (World Bank, 2013).
Keterbatasan data historis dan asumsi yang diperlukan membuat analisis
quantitative VfM perlu dilengkapi dengan analisis qualitative VfM. Penelitian ini
bertujuan mengidentifikasi kriteria dan implementasi analisis qualitative VfM,
mengevaluasi persepsi stakeholder terhadap kriteria qualitative VfM serta
mengevaluasi rencana skema AP dalam konteks qualitative VfM. Studi kasus
pada penelitian ini dilakukan pada proyek Penerangan Jalan Umum Kota
Bandung. Kuesioner ordinal digunakan untuk memperoleh gambaran persepsi dan
pemahaman stakeholder terkait terhadap kriteria qualitative VfM. Kriteria yang
ii
tergolong sebagai kriteria utama adalah yang memiliki nilai signifikansi > 50%
dengan asumsi lebih dari setengah responden sepakat menganggap kriteria
tersebut lebih penting dibanding lainnya sedangkan kriteria ? 50% digolongkan
sebagai kriteria pendukung dan menjadi evaluasi persepsi. Metode wawancara
digunakan untuk memperoleh catatan penting dari evaluasi pelaksanaan skema
AP dalam konteks qualitative VfM pada proyek PJU Kota Bandung.
Implementasi analisis qualitative VfM meliputi aspek ekonomi dan finansial;
teknis; sosial; politik dan hukum; serta manajerial dan institusi pemerintah dan
dilakukan pada tahap perencanaan skema AP. Persepsi dan pemahaman
stakeholder dalam konsepsi kriteria qualitative VfM untuk skema AP proyek PJU
Kota Bandung sudah cukup baik meskipun terdapat beberapa catatan diantaranya
perlu kesamaan persepsi mengenai pemasukan dari operasional infrastruktur
sebagai salah satu faktor penentu penggunaan skema AP; perlu keterlibatan
investor/ pihak swasta yang memiliki pengalaman dengan skema AP; perlu
perhatian terhadap faktor lingkungan dalam pelaksanaan proyek sehingga tidak
merusak; perlu kebijakan politik kepala daerah yang didasarkan pada kebutuhan
jangka panjang; serta komitmen dari pegawai pemerintah dalam melaksanakan
skema AP. Evaluasi skema AP pada proyek PJU Kota Bandung dalam konteks
qualitative VfM yaitu perlu perbaikan data teknis eksisting PJU mengenai kualitas
ketersediaan dan jumlah PJU untuk menentukan lingkup proyek dan perkiraan
biaya; perlu konsultasi publik yang komprehensif untuk melihat dampak sosial
proyek; perlu keterlibatan DPRD sejak awal perencanaan serta penyusunan
organisasi KPBU sesuai peraturan yang berlaku.