Penafsiran baru diperlukan untuk memberikan makna pada kerangka pelestarian
arsitektur yang mendukung lingkungan budaya yang berkelanjutan. Berdasarkan
Québec Declaration (2008) dan Burra Charter (2013), dimensi intangible menjadi
hal yang penting untuk memberi makna yang lebih kaya dan lebih dalam bagi
kawasan cagar budaya. Pergeseran telah terlihat dalam teori, kebijakan perkotaan,
dan desain arsitektur yang menekankan perhatian pada fenomena perseptual
melalui pendekatan multi-indera. Selanjutnya, dominasi audio-visual mulai digapai
oleh para praktisi dan cendekiawan, berbeda dengan indera lainnya seperti
penciuman yang masih cenderung terabaikan dan miskonsepsi.
Penelitian ini menguraikan temuan dari studi awal tentang pendekatan bentang bau
dalam memahami dan memaknai kawasan bersejarah Pecinan Semarang. Studi ini
akan membahas berbagai jenis bau yang terdeteksi, persepsi pribadi selama
smellswalk, dan peran bau di ruang dan tempat. Semua data ini dikumpulkan
dengan menggunakan metode smellswalk, survei kuesioner, dan wawancara. Data
yang terkumpul kemudian dianalisis dengan metode open coding untuk
mendapatkan wawasan tentang sikap dan pengalaman peserta terhadap bau di
kawasan Pecinan. Axial coding juga dilakukan untuk pengelompokkan dan
pengelolaan jejak-jejak bau untuk memudahkan pembacaan data. Pembahasan
lebih lanjut adalah penafsiran dan pemahaman bagaimana pengalaman perspektif
bau di tiap koridor dan bagaimana peranan bau di dalam kawasan Pecinan.
Pada pengumpulan data di lapangan, ditemukan 209 jejak bau, 67 variasi bau dan
dikelompokkan menjadi 10 kategori: amis, bakaran, emisi, sayur dan buah, sampah,
orang dan alam, makanan, busuk, bumbu, dan industri. Kemudian terdapat juga
konfigurasi bau di Pecinan Semarang yang terbagi menjadi background smell,
episodic smell, dan short-lived smell. Background smell diwakilkan oleh bau
bumbu dan makanan, episodic smell dengan bau amis, buah dan sayur, bakaran,
sampah, dan industry, dan short-lived smell yang dimiliki oleh jenis bau emisi dan
orang dan alam, dan busuk.
ii
Dari Gang Warung yang pengalaman ruangnya diwakili dengan bau-bau industri
dan emisi sebagai area bisnis yang padat mobilitasnya serta fleksibilitas ruang yang
diwakilkan oleh berbagai pergantian bau di pagi, siang, dan sore hari. Gang
Gambiran yang memiliki bau yang segar, serta aroma masakan dan dupa yang silih
berganti dan mencerminkan area permukiman di Pecinan. Kemudian kaya
keragaman bau yang saling tumpang tindih, dari bau yang menyengat,
menyegarkan, hingga menyenangkan dapat dijumpai di Pasar Gang Baru.
Walaupun setiap ruang mengalami pengalaman yang berbeda, semua suasana ini
masih memiliki benang merah yang mengingatkan akan kawasan Pecinan seperti
yang diwakilkan oleh aroma makanan, rempah, dan dupa yang selalu ada di setiap
sudut kawasan.
Pengalaman bentang bau yang khas ini dipengaruhi oleh ikatan emosional, aktifitas,
budaya, serta bentuk lingkungan binaannya (termasuk di dalamnya tata dan massa
bangunan, bentuk bangunan, dan jenis bukaannya terkait aliran udara). Semakin
padat dan sempit suatu ruang, maka semakin kecil pergerakan bau yang
mengakibatkan semakin mudahnya orang terekspos berbagai macam bau.
Kemudian, semakin luas dan bebasnya sirkulasi udara di suatu ruang akan
mengakibatkan pengalaman bau yang silih berganti atau bahkan bersirkulasi pada
titiknya masing-masing.
Kualitas pengalaman ruang berdasarkan pendekatan penciuman juga ditemukan
terkait dengan tingkat keakraban terhadap bau. Semakin mengenal bau di ruang
tersebut maka terdapat kemungkinan untuk menambah faktor menyenangkan pada
pengalaman ruang. Hal ini meliputi bau yang biasanya berkonotasi negatif, seperti
bau amis yang dapat dirasakan menyenangkan dikarenakan mengingatkan akan
kenangan atau makanan kesukaan.
Bau merupakan cerminan dari karakteristik sosial, budaya, dan tempat.
Karakteristik khas kawasan atau ruang akan dapat ditemukan melalui penciuman
dikarenakan sifat bau yang lebih mudah dirasakan, dialami, dipahami, dan diingat.
Persepsi tempat melalui penciuman dapat mengkonseptualisasikan dunia yang tak
terlihat di sekitar kita serta berguna untuk orientasi spasial, legibilitas, pemahaman,
dan pengalaman ruang. Keempat peran bau ini akan bermanfaat dalam kegiatan
pelestarian arsitektur yang sudah seharusnya merujuk peranan intangible elemen,
khususnya pendekatan bentang bau. Keunikan kontribusi pendekatan bau ini terjadi
karena karakteristik indera penciuman yang mempengaruhi emosi, perilaku, dan
sikap seseorang. Maka dari itu, pengalaman penciuman ini akan menambah nilai
place attachment, menjadi salah satu metode holistik untuk memahami kawasan
bersejarah, dan pelestarian arsitektur.