digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Auliya Maula Alqadrie
PUBLIC Perpustakaan Prodi Arsitektur

Penafsiran baru diperlukan untuk memberikan makna pada kerangka pelestarian arsitektur yang mendukung lingkungan budaya yang berkelanjutan. Berdasarkan Québec Declaration (2008) dan Burra Charter (2013), dimensi intangible menjadi hal yang penting untuk memberi makna yang lebih kaya dan lebih dalam bagi kawasan cagar budaya. Pergeseran telah terlihat dalam teori, kebijakan perkotaan, dan desain arsitektur yang menekankan perhatian pada fenomena perseptual melalui pendekatan multi-indera. Selanjutnya, dominasi audio-visual mulai digapai oleh para praktisi dan cendekiawan, berbeda dengan indera lainnya seperti penciuman yang masih cenderung terabaikan dan miskonsepsi. Penelitian ini menguraikan temuan dari studi awal tentang pendekatan bentang bau dalam memahami dan memaknai kawasan bersejarah Pecinan Semarang. Studi ini akan membahas berbagai jenis bau yang terdeteksi, persepsi pribadi selama smellswalk, dan peran bau di ruang dan tempat. Semua data ini dikumpulkan dengan menggunakan metode smellswalk, survei kuesioner, dan wawancara. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan metode open coding untuk mendapatkan wawasan tentang sikap dan pengalaman peserta terhadap bau di kawasan Pecinan. Axial coding juga dilakukan untuk pengelompokkan dan pengelolaan jejak-jejak bau untuk memudahkan pembacaan data. Pembahasan lebih lanjut adalah penafsiran dan pemahaman bagaimana pengalaman perspektif bau di tiap koridor dan bagaimana peranan bau di dalam kawasan Pecinan. Pada pengumpulan data di lapangan, ditemukan 209 jejak bau, 67 variasi bau dan dikelompokkan menjadi 10 kategori: amis, bakaran, emisi, sayur dan buah, sampah, orang dan alam, makanan, busuk, bumbu, dan industri. Kemudian terdapat juga konfigurasi bau di Pecinan Semarang yang terbagi menjadi background smell, episodic smell, dan short-lived smell. Background smell diwakilkan oleh bau bumbu dan makanan, episodic smell dengan bau amis, buah dan sayur, bakaran, sampah, dan industry, dan short-lived smell yang dimiliki oleh jenis bau emisi dan orang dan alam, dan busuk. ii Dari Gang Warung yang pengalaman ruangnya diwakili dengan bau-bau industri dan emisi sebagai area bisnis yang padat mobilitasnya serta fleksibilitas ruang yang diwakilkan oleh berbagai pergantian bau di pagi, siang, dan sore hari. Gang Gambiran yang memiliki bau yang segar, serta aroma masakan dan dupa yang silih berganti dan mencerminkan area permukiman di Pecinan. Kemudian kaya keragaman bau yang saling tumpang tindih, dari bau yang menyengat, menyegarkan, hingga menyenangkan dapat dijumpai di Pasar Gang Baru. Walaupun setiap ruang mengalami pengalaman yang berbeda, semua suasana ini masih memiliki benang merah yang mengingatkan akan kawasan Pecinan seperti yang diwakilkan oleh aroma makanan, rempah, dan dupa yang selalu ada di setiap sudut kawasan. Pengalaman bentang bau yang khas ini dipengaruhi oleh ikatan emosional, aktifitas, budaya, serta bentuk lingkungan binaannya (termasuk di dalamnya tata dan massa bangunan, bentuk bangunan, dan jenis bukaannya terkait aliran udara). Semakin padat dan sempit suatu ruang, maka semakin kecil pergerakan bau yang mengakibatkan semakin mudahnya orang terekspos berbagai macam bau. Kemudian, semakin luas dan bebasnya sirkulasi udara di suatu ruang akan mengakibatkan pengalaman bau yang silih berganti atau bahkan bersirkulasi pada titiknya masing-masing. Kualitas pengalaman ruang berdasarkan pendekatan penciuman juga ditemukan terkait dengan tingkat keakraban terhadap bau. Semakin mengenal bau di ruang tersebut maka terdapat kemungkinan untuk menambah faktor menyenangkan pada pengalaman ruang. Hal ini meliputi bau yang biasanya berkonotasi negatif, seperti bau amis yang dapat dirasakan menyenangkan dikarenakan mengingatkan akan kenangan atau makanan kesukaan. Bau merupakan cerminan dari karakteristik sosial, budaya, dan tempat. Karakteristik khas kawasan atau ruang akan dapat ditemukan melalui penciuman dikarenakan sifat bau yang lebih mudah dirasakan, dialami, dipahami, dan diingat. Persepsi tempat melalui penciuman dapat mengkonseptualisasikan dunia yang tak terlihat di sekitar kita serta berguna untuk orientasi spasial, legibilitas, pemahaman, dan pengalaman ruang. Keempat peran bau ini akan bermanfaat dalam kegiatan pelestarian arsitektur yang sudah seharusnya merujuk peranan intangible elemen, khususnya pendekatan bentang bau. Keunikan kontribusi pendekatan bau ini terjadi karena karakteristik indera penciuman yang mempengaruhi emosi, perilaku, dan sikap seseorang. Maka dari itu, pengalaman penciuman ini akan menambah nilai place attachment, menjadi salah satu metode holistik untuk memahami kawasan bersejarah, dan pelestarian arsitektur.