digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Wening Gilang Nawangi
PUBLIC Alice Diniarti

COVER Wening Gilang Nawangi
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 1 Wening Gilang Nawangi
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 2 Wening Gilang Nawangi
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 3 Wening Gilang Nawangi
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 4 Wening Gilang Nawangi
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 5 Wening Gilang Nawangi
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 6 Wening Gilang Nawangi
PUBLIC Alice Diniarti

PUSTAKA Wening Gilang Nawangi
PUBLIC Alice Diniarti

Film animasi dengan format video 360° merupakan hal baru. Proses menonton menggunakan format 360° menghadirkan pengalaman immersive yang cukup tinggi, perubahan posisi penonton pasif menjadi sangat aktif dan juga berubahnya aspek sinematografi. Hal-hal tersebut berpengaruh pada aspek naratif yang berhubungan dengan persepsi penonton. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian eksperimen ini dengan mengambil studi korelasi: Film Animasi Pearl (2016). Pearl dibuat dalam dua versi, yaitu format 360° dan non-360°. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari perbedaan persepsi menonton terhadap film animasi pendek berbasis video 360° dan non-360°. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan dua tahap, yaitu studi pendahuluan dan eksperimen utama yang dilakukan terhadap 12 orang responden. Data kuantitatif didapatkan melalui uji coba kepada responden dengan cara mempertontonkan kedua film secara bergantian. Metode eksperimen berupa penayangan 2 versi animasi pendek Pearl terhadap 12 responden secara bergantian dengan selisih waktu antar tiap sesi menonton minimal 5 hari. Responden kemudian mengisi kuesioner yang menggunakan kombinasi antara skala Likert dan opsional. Data yang didapat kemudian diolah menggunakan analisis T-Test yang terdapat pada software SPSS IBM Statistic 25. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa film dengan format 360° mampu menghadirkan aspek immersive yang lebih tinggi dibandingkan dengan format biasa, namun format ini tidak dapat menyampaikan unsur naratif dengan baik, sehingga hal tersebut membuat adanya perbedaan persepsi pada kedua format tersebut. Perbedaan itu terletak pada proses penerimaan objek yang dilihat. Pada format 360°, objek/cerita yang dilihat tidak tersampaikan secara utuh sehingga tidak dapat dipersepsi secara menyeluruh, begitu sebaliknya dengan format biasa. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan dan informasi tambahan untuk peneliti lain atau sineas yang akan membuat film animasi dengan format video 360°.