digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

COVER Nelly Kusuma
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

BAB 1 Nelly Kusuma
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

BAB 2 Nelly Kusuma
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

BAB 3 Nelly Kusuma
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

BAB 4 Nelly Kusuma
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

PUSTAKA Nelly Kusuma
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

Peningkatan populasi dunia memicu permintaan akan konsumsi makanan termasuk konsumsi protein hewan. Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dengan terus meningkatnya populasi berpendapatan menengah, Indonesia adalah pasar besar yang akan terus mendukung pertumbuhan jangka panjang industri protein hewan. Selama 2014-2015, industri protein hewan dengan unggas sebagai segmen dominan, mengalami siklus penurunan yang ekstrem karena kelebihan pasokan GPS (stok induk) dan DOC (ayam umur sehari), optimisme yang berlebihan pada sisi permintaan karena pertumbuhan ekonomi yang mengesankan selama 2010-2012 diikuti oleh penurunan pertumbuhan ekonomi pada 2013-2015 yang menciptakan ketidakseimbangan pasokan dan permintaan. Intervensi pemerintah sejak 2016 berupa pembatasan impor GPS dan penetapan harga referensi untuk ayam dan telur telah mengubah industri di mana hasil yang signifikan dialami oleh pemain terintegrasi vertikal di Industri pada akhir 2018. PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) adalah perusahaan vertikal terintegrasi terbesar kedua dalam industri protein hewan yang terlibat dalam pembibitan, pakan ternak, peternakan dan pengolahan makanan dengan melakukan strategi diversifikasi dalam tiga bisnis yang berbeda, unggas, peternakan sapi potong dan budidaya perairan. Pada akhir 2018, kapitalisasi pasar JPFA adalah Rp 25 triliun, terbesar kedua setelah PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) yang kapitalisasi pasarnya mencapai Rp 118 triliun atau hampir seperlima dari CPIN, dan asetnya adalah 83% dari CPIN tetapi dengan total karyawan hampir 4 kali lipat dari CPIN. Untuk mendapatkan potensi penciptaan nilai yang lebih tinggi dari JPFA, penelitian ini melakukan penilaian perusahaan menggunakan model Free Cash Flow to the Firm (FCFF) tiga tahap dengan pertumbuhan menurun dan membandingkan hasilnya dengan pesaing terbaiknya, CPIN, berdasarkan fundamental faktor perusahaan yaitu pertumbuhan, tingkat pengembalian modal dan biaya modal tertimbang untuk menemukan kritikal value driver dari JPFA. Hasil temuan menunjukkan bahwa nilai intrinsik JPFA pada akhir 2018 adalah Rp 1,523 atau dinilai terlalu tinggi sebesar 41% dibandingkan dengan nilai pasarnya, sementara nilai intrinsik CPIN adalah Rp 1,715 atau dinilai terlalu tinggi sebesar 321% dibandingkan dengan nilai pasarnya. Benchmarking mengidentifikasi bahwa kritikal value driver untuk JPFA adalah meningkatkan tingkat pengembalian modal dengan memperbaiki kualitas bisnis JAPFA saat ini melalui divestasi segmen sapi potong, meningkatkan proporsi kontrak peternakan, fokus pada pasar ekspor udang dan menggabungkan usaha consumer produk.