Rhamnolipid merupakan biosurfaktan yang sering dimanfaatkan sebagai bahan
aktif untuk bioremediasi, bioemulsifier, anti mikroba, dan proses enhanced oil
recovery (EOR). Namun, untuk memperoleh rhamnolipid masih dibutuhkan biaya
yang tinggi sehingga pemanfaatan rhamnolipid dalam beberapa bidang tersebut
masih dipertimbangkan. Penelitian untuk mendapatkan rhamnolipid dengan biaya
produksi yang ekonomis masih terus berkembang hingga saat ini. Salah satunya
dengan mengekplorasi mikroba yang mampu mengkonversi sumber karbon yang
murah, seperti limbah, menjadi rhamnolipid. Pada penelitian sebelumnya telah
diketahui bahwa bakteri halofilik Pseudomonas stutzeri BK-AB12 dapat
melakukan biokonversi minyak zaitun sebagai sumber karbon menjadi
rhamnolipid. Pada penelitian ini bakteri halofil tersebut dieksplorasi lebih lanjut
potensinya dalam memproduksi rhamnolipid dengan mengganti minyak zaitun
dengan sumber karbon lebih murah, yaitu limbah cair dari industri minyak sawit
yang dikenal sebagai limbah cair kelapa sawit (POME). Pada studi ini akan
diperlihatkan bahwa P. stutzeri BK-AB12 merupakan bakteri halofilik potensial
dalam mengonversi POME menjadi rhamnolipid untuk diaplikasikan sebagai
antibakteri dan surfaktan dalam proses enhanced oil recovery (EOR).
Penelitian ini diawali dengan melakukan optimasi pertumbuhan bakteri dalam
minimum salt medium (MSM) pada temperatur 37oC, pH 7,5 dan konsentrasi
NaCl 5% (w/v), dengan mengoptimalkan tiga faktor yang paling berpengaruh
dalam proses produksi rhamnolipid menggunakan teknik response surface
methodology (RSM). Tiga faktor tersebut yaitu konsentrasi sumber karbon
(POME), konsentrasi sumber nitrogen (urea), dan lamanya waktu inkubasi. Hasil
RSM menunjukkan pertumbuhan terbaik dalam MSM yang mengandung NaCl
5% (w/v) dan pH 7,5 dicapai pada konsentrasi POME 20%(v/v), urea 0,2%(w/v),
dan waktu inkubasi selama 90 jam. Kurva pertumbuhan bakteri pada kondisi
optimum ini menunjukkan bahwa fase stasioner terjadi pada jam ke-48 dan fase
kematian pada jam ke-72. Rhamnolipid diproduksi pada saat pertumbuhan bakteri
memasuki fase akhir stasioner menuju fase kematian, yaitu dari jam ke-72 hingga
jam ke-120, dimana produksi tertinggi teramati pada jam ke-96. Rhamnolipid
yang dihasilkan diendapkan menggunakan NaOH 6 M dan selanjutnya diekstraksi menggunakan pelarut organik kloroform:metanol = 2:1. Konsentrasi rhamnolipid
yang diperoleh sebanyak 3,91±0,24 gram/liter kultur.
Untuk mengidentifikasi biosurfaktan yang diperoleh oleh bakteri P. stutzeri BKAB12
adalah rhamnolipid, dilakukan uji kualitatif dengan menggunakan media
agar biru mengandung setil-trimetilammonium bromida-metilen biru (CTABMB).
Uji ini memberikan hasil positif yang diperlihatkan dengan terbentuknya
zona biru gelap di sekitar bagian yang mengandung rhamnolipid. Selain uji
kualitatif, struktur rhamnolipid juga diverifikasi dengan teknik spektroskopi FTIR
dan 1H-NMR. Spektrum FTIR dan 1H-NMR memperlihatkan pola spektrum yang
khas untuk rhamnolipid. Analisis lebih lanjut dilakukan menggunakan HRMS
untuk menentukan varian rhamnolipid yang diperoleh dari hasil biokonversi
POME oleh P. stutzeri BK-AB12. Hasilnya memperlihatkan banyaknya variasi
rhamnolipid yang dihasilkan baik untuk kelompok mono maupun dirhamnolipid.
Hal ini disebabkan karena sumber karbon yang digunakan (POME) memiliki
kandungan asam lemak yang cukup variatif sehingga berdampak kepada jalur
metabolisme dan biosintesis rhamnolipid.
Sampel rhamnolipid selanjutnya dikarakterisasi sifat fisikokimianya yang meliputi
penentuan nilai indeks emulsifikasi, studi aktivitas rhamnolipid pada variasi
temperatur, pH dan salinitas, serta penentuan nilai konsentrasi misel kritis (CMC).
Hasil karakterisasi memperlihatkan bahwa sampel rhamolipid memiliki nilai
indeks emulsifikasi 24 jam tertinggi sebesar 71,4% dan aktivitas tertinggi pada pH
9, NaCl 15%(w/v) dan temperatur 55oC. Sedangkan nilai CMC diperoleh pada
konsentasi rhamnolipid 390 mg/L dengan penurunan tegangan permukaan air
sebesar 16 dyne/cm pada temperatur ruang.
Untuk meningkatkan produksi rhamnolipid, pada penelitian ini juga dicoba
memberikan perlakuan awal terhadap POME dengan proses ozonasi. Proses ini
dilakukan dengan cara mengalirkan ozon dengan laju alir tetap ke dalam larutan
POME dengan variasi waktu tertentu. Dari hasil variasi waktu ozonasi, kondisi
POME terbaik teramati pada sampel hasil ozonasi selamat 30 menit. Hasil analisis
GC-MS menunjukkan bahwa kandungan POME sebelum dan setelah ozonasi 30
menit memiliki perbedaan dimana POME sebelum ozonasi mengandung lebih
kaya komponen gliserol dibanding asam-asam lemak, sedangkan POME setelah
ozonasi tidak mengandung gliserol dan mengandung asam-asam lemak sebagai
komponen utama. Profil kurva pertumbuhan bakteri pada medium yang
menggunakan POME terozonasi berbeda dengan kurva pertumbuhan bakteri
sebelum ozonasi. Kurva pertumbuhan ini menunjukkan awal fase stasioner terjadi
pada jam ke-72 (sebelumnya jam ke-48) dan awal fase kematian pada jam ke-120
(sebelumnya jam ke-72) dan rhamnolipid pada keadaan ini diproduksi dengan
konsentrasi tertinggi pada jam ke-120 (sebelumnya jam ke-96). Berdasarkan hal
tersebut dapat dilihat bahwa proses ozonasi menyebabkan produksi rhamnolipid
menjadi lambat namun produk rhamnolipid yang dihasilkan meningkat.
Penggunaan POME hasil ozonasi selama 30 menit dapat meningkatkan produksi
rhamnolipid sebesar 1,17±0,12 gram/liter atau sekitar 30% lebih tinggi dibanding
menggunakan POME sebelum ozonasi. Verifikasi biosurfaktan yang diperoleh
dilakukan dengan membandingkan spektrum FTIR dengan spektrum rhamnolipid sebelum ozonasi. Hasilnya kedua surfaktan memberikan pola spektrum yang sama
sehingga POME hasil ozonasi tidak mengubah jalur biosintesis dan tetap
menghasilkan rhamnolipid.
Rhamnolipid yang dihasilkan dari biokonversi POME tanpa dan dengan ozonasi
diuji potensinya sebagai anti mikroba. Rhamnolipid dari POME tanpa ozonasi
memberikan konsentrasi hambat tumbuh (MIC) terhadap bakteri
Propionibacterium acnes pada 125 ppm dan konsentrasi bunuh minimum (MBC)
pada 250 ppm. Hasil yang sama juga diperoleh dari rhamnolipid dengan POME
terozonasi (tidak terdapat perbedaan nilai MIC dan MBC). Hal ini menyimpulkan
bahwa ozonasi tidak mempengaruhi kemampuan rhamnolipid yang dihasilkan
sebagai anti mikroba.
Rhamnolipid dari biokonversi POME dengan ozonasi dilakukan uji potensinya
sebagai sufaktan untuk proses peningkatan perolehan minyak bumi (EOR). Salah
satu faktor krusial dalam menentukan efektifitas suatu surfaktan untuk proses
EOR adalah kemampuan surfaktan untuk menurunkan tegangan antar muka (IFT)
lapisan minyak-air hingga 10–3 mN/m pada CMC kurang dari 1000 ppm pada
temperatur tertentu. Hasil pengukuran memperlihatkan bahwa rhamnolipid yang
diperoleh mampu menurunkan nilai IFT hingga 10–3 mN/m pada temperatur 60oC
dengan CMC sekitar 225 ppm. Oleh karena itu, rhamnolipid hasil biokonversi
POME terozonasi berpotensi untuk digunakan sebagai surfaktan EOR pada sumur
minyak dengan kategori temperatur menengah.