digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Rhamnolipid merupakan biosurfaktan yang sering dimanfaatkan sebagai bahan aktif untuk bioremediasi, bioemulsifier, anti mikroba, dan proses enhanced oil recovery (EOR). Namun, untuk memperoleh rhamnolipid masih dibutuhkan biaya yang tinggi sehingga pemanfaatan rhamnolipid dalam beberapa bidang tersebut masih dipertimbangkan. Penelitian untuk mendapatkan rhamnolipid dengan biaya produksi yang ekonomis masih terus berkembang hingga saat ini. Salah satunya dengan mengekplorasi mikroba yang mampu mengkonversi sumber karbon yang murah, seperti limbah, menjadi rhamnolipid. Pada penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa bakteri halofilik Pseudomonas stutzeri BK-AB12 dapat melakukan biokonversi minyak zaitun sebagai sumber karbon menjadi rhamnolipid. Pada penelitian ini bakteri halofil tersebut dieksplorasi lebih lanjut potensinya dalam memproduksi rhamnolipid dengan mengganti minyak zaitun dengan sumber karbon lebih murah, yaitu limbah cair dari industri minyak sawit yang dikenal sebagai limbah cair kelapa sawit (POME). Pada studi ini akan diperlihatkan bahwa P. stutzeri BK-AB12 merupakan bakteri halofilik potensial dalam mengonversi POME menjadi rhamnolipid untuk diaplikasikan sebagai antibakteri dan surfaktan dalam proses enhanced oil recovery (EOR). Penelitian ini diawali dengan melakukan optimasi pertumbuhan bakteri dalam minimum salt medium (MSM) pada temperatur 37oC, pH 7,5 dan konsentrasi NaCl 5% (w/v), dengan mengoptimalkan tiga faktor yang paling berpengaruh dalam proses produksi rhamnolipid menggunakan teknik response surface methodology (RSM). Tiga faktor tersebut yaitu konsentrasi sumber karbon (POME), konsentrasi sumber nitrogen (urea), dan lamanya waktu inkubasi. Hasil RSM menunjukkan pertumbuhan terbaik dalam MSM yang mengandung NaCl 5% (w/v) dan pH 7,5 dicapai pada konsentrasi POME 20%(v/v), urea 0,2%(w/v), dan waktu inkubasi selama 90 jam. Kurva pertumbuhan bakteri pada kondisi optimum ini menunjukkan bahwa fase stasioner terjadi pada jam ke-48 dan fase kematian pada jam ke-72. Rhamnolipid diproduksi pada saat pertumbuhan bakteri memasuki fase akhir stasioner menuju fase kematian, yaitu dari jam ke-72 hingga jam ke-120, dimana produksi tertinggi teramati pada jam ke-96. Rhamnolipid yang dihasilkan diendapkan menggunakan NaOH 6 M dan selanjutnya diekstraksi menggunakan pelarut organik kloroform:metanol = 2:1. Konsentrasi rhamnolipid yang diperoleh sebanyak 3,91±0,24 gram/liter kultur. Untuk mengidentifikasi biosurfaktan yang diperoleh oleh bakteri P. stutzeri BKAB12 adalah rhamnolipid, dilakukan uji kualitatif dengan menggunakan media agar biru mengandung setil-trimetilammonium bromida-metilen biru (CTABMB). Uji ini memberikan hasil positif yang diperlihatkan dengan terbentuknya zona biru gelap di sekitar bagian yang mengandung rhamnolipid. Selain uji kualitatif, struktur rhamnolipid juga diverifikasi dengan teknik spektroskopi FTIR dan 1H-NMR. Spektrum FTIR dan 1H-NMR memperlihatkan pola spektrum yang khas untuk rhamnolipid. Analisis lebih lanjut dilakukan menggunakan HRMS untuk menentukan varian rhamnolipid yang diperoleh dari hasil biokonversi POME oleh P. stutzeri BK-AB12. Hasilnya memperlihatkan banyaknya variasi rhamnolipid yang dihasilkan baik untuk kelompok mono maupun dirhamnolipid. Hal ini disebabkan karena sumber karbon yang digunakan (POME) memiliki kandungan asam lemak yang cukup variatif sehingga berdampak kepada jalur metabolisme dan biosintesis rhamnolipid. Sampel rhamnolipid selanjutnya dikarakterisasi sifat fisikokimianya yang meliputi penentuan nilai indeks emulsifikasi, studi aktivitas rhamnolipid pada variasi temperatur, pH dan salinitas, serta penentuan nilai konsentrasi misel kritis (CMC). Hasil karakterisasi memperlihatkan bahwa sampel rhamolipid memiliki nilai indeks emulsifikasi 24 jam tertinggi sebesar 71,4% dan aktivitas tertinggi pada pH 9, NaCl 15%(w/v) dan temperatur 55oC. Sedangkan nilai CMC diperoleh pada konsentasi rhamnolipid 390 mg/L dengan penurunan tegangan permukaan air sebesar 16 dyne/cm pada temperatur ruang. Untuk meningkatkan produksi rhamnolipid, pada penelitian ini juga dicoba memberikan perlakuan awal terhadap POME dengan proses ozonasi. Proses ini dilakukan dengan cara mengalirkan ozon dengan laju alir tetap ke dalam larutan POME dengan variasi waktu tertentu. Dari hasil variasi waktu ozonasi, kondisi POME terbaik teramati pada sampel hasil ozonasi selamat 30 menit. Hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa kandungan POME sebelum dan setelah ozonasi 30 menit memiliki perbedaan dimana POME sebelum ozonasi mengandung lebih kaya komponen gliserol dibanding asam-asam lemak, sedangkan POME setelah ozonasi tidak mengandung gliserol dan mengandung asam-asam lemak sebagai komponen utama. Profil kurva pertumbuhan bakteri pada medium yang menggunakan POME terozonasi berbeda dengan kurva pertumbuhan bakteri sebelum ozonasi. Kurva pertumbuhan ini menunjukkan awal fase stasioner terjadi pada jam ke-72 (sebelumnya jam ke-48) dan awal fase kematian pada jam ke-120 (sebelumnya jam ke-72) dan rhamnolipid pada keadaan ini diproduksi dengan konsentrasi tertinggi pada jam ke-120 (sebelumnya jam ke-96). Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa proses ozonasi menyebabkan produksi rhamnolipid menjadi lambat namun produk rhamnolipid yang dihasilkan meningkat. Penggunaan POME hasil ozonasi selama 30 menit dapat meningkatkan produksi rhamnolipid sebesar 1,17±0,12 gram/liter atau sekitar 30% lebih tinggi dibanding menggunakan POME sebelum ozonasi. Verifikasi biosurfaktan yang diperoleh dilakukan dengan membandingkan spektrum FTIR dengan spektrum rhamnolipid sebelum ozonasi. Hasilnya kedua surfaktan memberikan pola spektrum yang sama sehingga POME hasil ozonasi tidak mengubah jalur biosintesis dan tetap menghasilkan rhamnolipid. Rhamnolipid yang dihasilkan dari biokonversi POME tanpa dan dengan ozonasi diuji potensinya sebagai anti mikroba. Rhamnolipid dari POME tanpa ozonasi memberikan konsentrasi hambat tumbuh (MIC) terhadap bakteri Propionibacterium acnes pada 125 ppm dan konsentrasi bunuh minimum (MBC) pada 250 ppm. Hasil yang sama juga diperoleh dari rhamnolipid dengan POME terozonasi (tidak terdapat perbedaan nilai MIC dan MBC). Hal ini menyimpulkan bahwa ozonasi tidak mempengaruhi kemampuan rhamnolipid yang dihasilkan sebagai anti mikroba. Rhamnolipid dari biokonversi POME dengan ozonasi dilakukan uji potensinya sebagai sufaktan untuk proses peningkatan perolehan minyak bumi (EOR). Salah satu faktor krusial dalam menentukan efektifitas suatu surfaktan untuk proses EOR adalah kemampuan surfaktan untuk menurunkan tegangan antar muka (IFT) lapisan minyak-air hingga 10–3 mN/m pada CMC kurang dari 1000 ppm pada temperatur tertentu. Hasil pengukuran memperlihatkan bahwa rhamnolipid yang diperoleh mampu menurunkan nilai IFT hingga 10–3 mN/m pada temperatur 60oC dengan CMC sekitar 225 ppm. Oleh karena itu, rhamnolipid hasil biokonversi POME terozonasi berpotensi untuk digunakan sebagai surfaktan EOR pada sumur minyak dengan kategori temperatur menengah.