digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Adrianus Damanik
PUBLIC Irwan Sofiyan

COVER Adrianus Damanik
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 1 Adrianus Damanik
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 2 Adrianus Damanik
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 3 Adrianus Damanik
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 4 Adrianus Damanik
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 5 Adrianus Damanik
PUBLIC Irwan Sofiyan

PUSTAKA Adrianus Damanik
PUBLIC Irwan Sofiyan

Analisis paleoklimat dan paleoseanografi pada Perairan Utara Papua dipilih pada Ekspedisi Nusa Manggala 2018 karena berada pada posisi yang strategis. Wilayah perairan utara Papua merupakan salah satu pintu masuk dari ITF (Indonesian Through Flow) dan perairan yang terpengaruh ENSO (El Niño Southern Oscillation). Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi dan mengetahui pengaruh dari ITF dan ENSO, serta juga untuk mengetahui kaitan antara ITF dan ENSO pada Pleistosen Akhir–Holosen. Analisis dilakukan dengan menggunakan sampel inti gravitasi sepanjang 246 cm. Sampel dengan kode OS-07 diambil dari kedalaman 4327 m di Perairan utara Papua, Samudra Pasifik dengan koordinat 01? 15’161 LU dan 132? 23’831 BT. Analisis paleoklimat dan paleoseanografi dilakukan dengan menggunakan beberapa proksi, yaitu 2 penanggalan radiokarbon, 246 analisis besar butir dan XRF (X-Ray Fluorescence), 47 analisis LOI (loss on ignition) serta analisis kumpulan foraminifera. Analisis penanggalan numerik dilakukan dengan AMS (Accelerator Mass Spectrometry) 14C radiocarbon dating pada tiga spesies foraminifera: Neogloboquadrina spp., Globorotalia spp., dan Pulleniatina spp., pada kedalaman 125–126 cm dan 245–246 cm. Analisis besar butir dilakukan untuk mengetahui parameter statistik dari besar butir seperti mean, median, sorting, skewness, kurtosis, dan persentase besar butir >63 mikrometer sebagai proksi input sedimen. Selain itu dilakukan juga analisis XRF untuk mengetahui kandungan unsur kimia sebagai proksi input sedimen dan pelapukan. Hal tersebut dianggap dapat mewakili dominasi El Niño dan La Niña. Analisis LOI dilakukan untuk mengetahui kandungan karbonat dan karbon pada sampel yang dapat digunakan untuk mengetahui suhu dan kelembaban relatif. Analisis kumpulan foraminifera dilakukan secara kuantitatif untuk mengetahui distribusi foraminifera dan karakter ekologi dari daerah penelitian. Hasil analisis constrained clustering terhadap data foraminifera didapatkan 17 cluster yang menunjukkan fluktuasi kondisi iklim dan oseanografi daerah penelitian. Sea Surface Temperature (SST) diperoleh dengan metode MAT (Modern Analogue Techinque). Hasil rekonstruksi paleoklimat dan paleoseanografi menunjukkan adanya perbedaan suhu, kondisi iklim, dominasi ENSO, dan intensitas ITF antara Pleistosen dan Holosen. Perbedaan suhu pada Pleistosen yaitu sebesar 1,33oC lebih dingin pada bulan Februari dan 0,82oC lebih dingin pada bulan Agustus dibandingkan Holosen. Kondisi iklim Pleistosen juga lebih dingin dan kering dibandingkan Holosen yang relatif lebih hangat dan lembab. Pada Pleistosen frekuensi La Niña dan El Niño terlihat relatif sama, sedangkan pada Holosen terjadi peningkatan intensitas ENSO/dominasi El Niño. Intensitas ITF lebih tinggi pada Pleistosen dibandingkan dengan Holosen. Rekonstruksi paleoklimat dan paleoseanografi menghasilkan 10 periode iklim yaitu Periode 1, terdiri dari cluster 1A-1C (>17.602BP; akhir Last Glacial Maximum/LGM), Periode 2, terdiri dari cluster 1D (17.602-16.229 BP; Oldest Dryas), Periode 3, terdiri dari cluster 1E-1G (16.229-13.509 BP; Bølling Interstadial), Periode 4, terdiri dari cluster 1H (13.509–11.980 BP; Older Dryas), Periode 5, terdiri cluster dari 1I (11.980– 0.960 BP; Allerød Interstadial kemudian Younger Dryas), Periode 6, terdiri dari cluster 2, 3, dan 4A (10.960–7.902 BP; Preboreal–Boreal), Periode 7, terdiri dari cluster 4A dan 4B (7.902–4.333 BP; 8,2K dan Tropical Cooling), Periode 8, terdiri dari cluster 5 (4.333–3.824 BP; Holocene Thermal Maximum/HTM), Periode 9, terdiri dari cluster 6A (3.824–765 BP; Subboreal kemudian Medieval Warm/MW), Periode 10, terdiri dari cluster 6B (765 BP; Little Ice Age/LIA). Hasil analisis paleoklimatologi dan paleoseanografi menunjukkan bahwa intensitas ITF yang terjadi berhubungan dengan intensitas ENSO. Keduanya mempengaruhi dinamika iklim dan oseanografi pada daerah penelitian. Pada Pleistosen, arus ITF cenderung lebih tinggi menunjukkan frekuensi terjadinya El Niño dan La Niña relatif sama, sedangkan pada Holosen intensitas ITF yang lebih rendah berkaitan dengan peningkatan intensitas ENSO/lebih dominannya El Niño.