digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

PT. Dirgantara Indonesia (Persero) merupakan industri pesawat terbang pertama dan satu-satunya di wilayah Asia Tenggara. Setelah status pailit perusahaan pada tahun 2007 dibatalkan, perusahaan menerima suntikan dana di tahun 2011, yang diikuti dengan program restrukturisasi perusahaan. Melalui program restrukturisasi tersebut, sistem produksi perusahaan yang tadinya bersifat Engineer-to-Order (ETO) menjadi Assemble-to-Order (ATO) dan Make-to-Stock (MTS). Kendati telah mengalami restrukturisasi, perusahaan masih digerogoti permasalahan organisasi. Di tahun 2016, kasus keterlambatan pengiriman pesawat menimbulkan denda sebesar Rp222,56 miliar. Salah satu divisi yang berperan penting bagi terciptanya efisiensi dan efektivitas kegiatan produksi adalah divisi Detail Part Manufacturing (DPM), divisi dari Direktorat Produksi yang bertugas memproduksi komponen pesawat. Namun, perencanaan dan pengendalian produksi Divisi DPM saat ini masih memiliki performa yang kurang baik, di mana alokasi beban yang terlampau jauh dari kapasitas produksi kerap kali ditemukan. Selain itu, lebih dari 50% Work Order berstatus Delay and/or No Activity setiap bulannya. Untuk menangani permasalahan tersebut, dilakukan perbaikan proses bisnis perencanaan dan pengendalian produksi DPM. Perbaikan proses bisnis dilakukan dengan pertama-tama mengidentifikasi proses bisnis melalui wawancara dengan pihak perusahaan. Proses bisnis existing terdiri dari 79 aktivitas, dengan 7,60% bersifat value-added, 48,10% bersifat organizational value-added, dan 44,30% bersifat non-value-added. Analisis VAA dilakukan berdampingan dengan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA). Analisis FMEA menemukan 15 risiko kritis yang harus diperbaiki dari 54 risiko yang diidentifikasi. Melalui analisis akar permasalahan dengan Cause-and-Effect Diagram, dibentuk upaya-upaya penanganan untuk meminimasi kelima belas risiko kritis. Hal ini diikuti dengan penambahan proses baru, eliminasi proses non-value-added, serta perubahan proses lainnya sebagai konsekuensi telah dilakukannya upaya penanganan untuk kelima belas risiko tersebut. Penelitian menghasilkan proses bisnis perbaikan yang lebih ramping, dengan total aktivitas sebanyak 75, menurun dari 79 aktivitas pada proses bisnis existing. Menurut analisis VAA, proses bisnis perbaikan diidentifikasi memiliki nilai tambah yang lebih baik, dengan 10,67% aktivitas bersifat value-added, 86,67% aktivitas bersifat organizational-value-added, dan 2,67% aktivitas bersifat non-value-added.