digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

2018 TS PP RAHMI DANIA 1-ABSTRAK.pdf
PUBLIC Open In Flip Book Roosalina Vanina Viyazza

Panas bumi merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang diharapkan dapat memberikan kontribusi penting terhadap bauran energi primer di Indonesia. Potensi panas bumi Indonesia tersebar di sepanjang jalur gunung api aktif (Ring of Fire), yang jika dikembangkan sebagai energi listrik akan menjadi sumber energi yang ramah lingkungan dan juga berkelanjutan. Potensi panas bumi Indonesia diperkirakan mencapai 28.579 MW, terdiri dari sumber 11.073 MW dan cadangan terbukti 17.506 MW. Sayangnya, potensi panas bumi belum dimanfaatkan secara maksimal, sedangkan Road Map untuk Panas Bumi di Indonesia yang ditetapkan oleh Pemerintah melalui visi 25/25 menargetkan bahwa pada tahun 2025, 23% dari Bauran Energi harus berasal dari Energi Baru dan Terbarukan dan 5% dari 23% tersebut harus berasal dari Energi Panas Bumi terutama untuk listrik. Saat ini kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) hingga 2017 hanya mencapai 1.643,5 MW atau 5,7% dari total potensi. Jika dibandingkan dengan skenario pemanfaatan panas bumi terutama untuk listrik berdasarkan target Kebijakan Energi Nasional sampai 2025 adalah sebesar 7241, 5 MW atau 25, 3% dari total potensi. Dengan kata lain, pemerintah harus mengejar kekurangan 5598 MW untuk memenuhi target Kebijakan Energi Nasional dalam waktu 8 tahun ke depan. Serangkaian program dan kebijakan strategis di bidang panas bumi telah dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk memenuhi target Energi Nasional melalui berbagai kebijakan dalam 8 tahun ke depan sampai tahun 2025 untuk mencapai 7241, 5 MW atau setara 25, 3% dari total potensi sumber daya untuk ketenagalistrikan. Hal ini dilakukan sebagai solusi atas ketimpangan antara kapasitas terpasang dibandingkan dengan target pemanfaatan panas bumi berdasarkan Kebijakan Energi Nasional. Road map Energi Panas Bumi di Indonesia yang ditetapkan oleh Pemerintah telah menyatakan targetnya melalui visi 25/25 bahwa pada tahun 2025, 23% dari Bauran Energi harus berasal dari Energi Baru dan Terbarukan dan 5% dari 23% tersebut harus berasal dari Energi Panas Bumi terutama untuk listrik. Oleh karena itu, penelitian ini berfokus pada bagaimana pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya bekerjasama dalam menerapkan kebijakan untuk memenuhi target dan juga mempertimbangkan peran sumber daya panas bumi melalui berbagai regulasi, dukungan kelembagaan, dukungan penelitian dan pengembangan, dan hubungan setiap aktivitas yang dilakukan oleh pengambil keputusan. Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, ada beberapa perubahan dalam poin konsep dan peraturan dalam UU Panas Bumi, seperti (i) proyek panas bumi tidak dikategorikan sebagai kegiatan penambangan (ii) panduan dan pengawasan izin usaha panas bumi yang dulunya dilakukan oleh pemerintah daerah, berubah menjadi kewenangan pemerintah pusat (iii) adanya peraturan mengenai penggunaan panas bumi untuk pemanfaatan secara langsung atau tidak langsung (iv) wewenang pemerintah untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi dan pemanfaatan yang dapat diimplementasikan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Badan Layanan Umum (v) mengatur bonus produksi panas bumi yang didasarkan pada persentase tertentu dari pendapatan kotor dari unit pertama yang dihasilkan. Namun, tingkat risiko yang tinggi pada pengembangan sektor panas bumi, permasalahan teknologi dan pendanaan, ditambah rendahnya harga energi fosil membuat harga energi panas bumi sulit bersaing dengan sumber energi lain dan membuat kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) hingga tahun 2017 hanya mencapai 5,7% dari total potensi. Oleh karena itu, kebijakan dan peraturan yang tepat serta dukungan masyarakat dan pemerintah daerah menjadi sangat penting untuk mempercepat pengembangan panas bumi di Indonesia, misalnya konsentrasi pengembangan panas bumi di wilayah timur Indonesia sebagai salah satu upaya Pemerintah untuk meningkatkan rasio elektrifikasi di daerah, terutama daerah dengan Biaya Pasokan Listrik Daerah (BPP lokal) lebih tinggi dari pada BPP Nasional; keandalan data mengenai informasi Geologi, Geofisika dan Geokimia dalam menentukan besarnya potensi; skema insentif; strategi terkait pendanaan dan kepastian dalam aspek hukum.