digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Air memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, dimana permintaannya yang besar dengan ketersediaannya yang terbatas membuat air ini menjadi sulit untuk didapatkan. Hal ini juga menjadi isu permasalahan air, khususnya air bersih dimana air bersih ini semakin sulit untuk didapatkan. Salah satunya dapat dilihat dari tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs yang merupakan agenda pemenuhan target secara global, salah satunya juga membahas mengenai ketersediaan air. Indoneisa juga ikut berpartisipasi dalam agenda tersebut, salah satunya melalu program prakarsa 100-0-100 Universal Access dimana salah satu targetnya adalah 100% akses air minum pada tahun 2019. Jika melihat tingkat pelayanan air bersih di Indonesia, khususnya PDAM baru sekitar 68,8% pada tahun 2015. Dengan waktu yang tidak lama lagi, tingkat pelayanan ini harus dapat memenuhi. Namun pemerintah melalui PDAM belum dapat sepenuhnya diandalkan dalam menyediakan air bersih. Menurut Ostrom, suatu common pool resources dalam hal ini air, akan lebih berkelanjutan jika dikelola oleh institusi lokal. Dapat diartikan bahwa masyarakat sebagai unit terkecil dan paling dekat dengan permintaan berpotensi untuk dapat mengelola penyediaan air. Namun masyarakat sendiri pada dasarnya tidak memiliki kompetensi atau kapasitas yang cukup dalam mengelola sehingga perlu diketahui bagaimana agar masyarakat dapat melakukan penyediaan air bersih secara berkelanjutan. Desa Caringin Wetan merupakan salah satu desa di Kabupaten Sukabumi yang memiliki sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat. Namun masyarakat setempat juga tidak meiliki kapastitas dalam melakukan pengelolaan. Oleh karena itu perlu diketahui apa faktor-faktor yang mmpengaruhi keberlanjutan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat dan apakah pengelolaan di Desa Caringin Wetan sudah sesuai dengan faktor tersebut atau belum. Pendekatan penelitian yang dilakukan yaitu melalui metode kualitatif, dengan menggunakan metode analisis deskriptf, analisis kesesuaian, dan analsis penyederhanaan. Metode analisis deskriptif untuk menjelaskan kondisi lapangan, analsis kesesuaian untuk menilai kesesuaiannya, dan analsisi penyederhanaan untuk melakukan penentuan faktor. Data yang didapat sebagian besar melalui wawancara stakeholder menggunakan purposive sampling dan snowball. Hasil dari penelitian ini yaitu 23 dari 36 indikator tidak sesuai dengan kriteria penilaian kesesuaian. Secara garis besar, ketidaksesuaian ini dikarenakan adanya pengelolaan yang tidak profesional seperti tidak adanya pengaturan atas pengelolaan ataupun aturan bagi pengguna, data pengguna yang tidak mencakup seluruh pengguna, tidak adanya mekanisme sanksi atau peraturan khusus pengguna, ada banyaknya free-rider, dan ketidakteraturan lainnya yang mengarah kepada tidak idealnya pengelolaan yang dilakukan. Selain itu, ketidaksesuaian lainnya dikarenakan faktor terkait indikator yang tidak sesuai tersebut adalah hal yang mutlak harus ada. Sedangkan indikator yang sesuai secara garis besar yang berhubungan dengan kondusifitas hubungan antar masyarakat seperti hubungan sosial, kebiasaan, kepercayaan, dan komunikasi antar masyarakat. Adapun alasan lainnya yaitu karena tetap terpenuhinya maksud dari faktor walaupun indikatornya tidak persis sama secara seksama.