Pertumbuhan kota-kota di Indonesia berlangsung sangat pesat terlebih di wilayah kota-kota metropolitan yang ditunjukkan dengan peningkatan proporsi penduduk perkotaan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pertumbuhan yang pesat ini tentu saja akan menimbulkan permasalahan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang menuntut penyediaan infrastruktur perkotaan yang memadai, termasuk penyediaan air, energi, telekomunikasi, transportasi publik, perumahan, dan lainnya. Permasalahan yang dihadapi kota-kota besar tersebut juga terkait dengan perkembangan wilayah perkotaan yang mengalami perkembangan yang menyebar secara acak (sprawl). Wilayah Metropolitan Semarang sebagai kawasan perkotaan tumbuh pesat di Indonesia tak lepas dari permasalahan perkotaan tersebut. Struktur ruang yang telah terbentuk di Wilayah Metropolitan Semarang saat ini menunjukkan adanya gejala perkembangan yang tersebar secara acak dan belum tercipta hierarki pusat-pusat pelayanan.
Di lain pihak, konsep pembangunan berkelanjutan terus berkembang hingga memunculkan pula konsep kota yang berkelanjutan (sustainable city). Konsep kota berkelanjutan memiliki prinsip-prinsip tertentu yang dapat digunakan untuk melihat pembangunan kota yang menunjukkan ciri-ciri keberlanjutan. Terkait dengan bentuk kota, kota yang kompak (compact city) di negara-negara maju dianggap sebagai suatu ciri kota yang berkelanjutan yang ditunjukkan dengan intensifikasi aktivitas di pusat kota, pembangunan dengan penambahan pada struktur yang telah ada, kombinasi fungsi-fungsi setiap bagian wilayah kota, penyediaan dan penyebaran fasilitas, dan pembangunan dengan kepadatan tinggi. Oleh sebab itu, urban compactness dapat dijadikan salah satu indikator keberlanjutan kota. Selain itu, urban compactness ini tidak lepas dari hubungannya terhadap transportasi. Konsep compact city yang menuju kota berkelanjutan juga akan menuju ke transportasi yang berkelanjutan.
Persoalan yang diangkat dalam studi ini adalah belum adanya kajian empirik yang mengidentifikasi pola spasial urban compactness di Wilayah Metropolitan Semarang. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola spasial urban compactness di Wilayah Metropolitan Semarang. Tujuan itu akan dicapai dengan mengidentifikasi indikator compact city berdasarkan konsep dan prinsip keberlanjutan kota, menganalisis struktur dan pola ruang Wilayah Metropolitan Semarang dengan menggunakan indikator-indikator compact city, menganalisis tipologi kecamatan di Wilayah Metropolitan Semarang berdasarkan keseluruhan indikator compact city, dan menganalisis keterkaitan urban compactness dengan transportasi di Wilayah Metropolitan Semarang. Indikator-indikator urban compactness yang digunakan meliputi kepadatan penduduk, kepadatan terbangun, kepadatan sub-pusat, penyediaan fasilitas, perubahan guna lahan terbangun, pertumbuhan penduduk, dan perubahan kepadatan. Sedangkan untuk melihat keterkaitan urban compactness dengan transportasi, menggunakan rasio kepemilikan kendaraan pribadi, tingkat VCR, dan LHR. Struktur ruang perkotaan di Wilayah Metropolitan Semarang berdasarkan indikator-indikator compact city secara umum mempunyai pola konsentris lingkaran baik pada aspek fungsi campuran, dan intensifikasi. Akan tetapi, pada aspek kepadatan, pola keruangan yang terbentuk adalah pola konsentris linier. Berdasarkan indikator-indikator compact city, secara umum Wilayah Metropolitan Semarang telah menunjukkan kekompakan dalam hal kepadatan penduduk yang terjadi di kota inti dengan tingkat intensifikasi yang cukup besar jika dilihat dari perubahan kepadatan di kota inti. Tetapi proses pemadatan (densifikasi) ini tidak diimbangi dengan pelayanan ketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang baik. Perkembangan kawasan perkotaan di Wilayah Metropolitan Semarang secara keseluruhan masih jauh dari konsep keberlanjutan karena hanya dimensi kepadatan saja yang terpenuhi sedangkan penyediaan fasilitasnya masih rendah. Masih jauhnya perkembangan Wilayah Metropolitan Semarang dari konsep keberlanjutan juga diindikasikan dengan adanya gejala perluasan kawasan terbangun ke wilayah sub-urban dan pinggiran yang berlangsung secara tersebar. Namun keberlanjutan perkotaan di Wilayah Metropolitan Semarang berdasarkan pengelompokan karakteristik urban compactness menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda di tiap wilayah.
Berdasarkan hasil studi ini, cluster 1 dan 2 yang merupakan bagian kota inti Wilayah Metropolitan Semarang telah menunjukkan adanya pengompakan sedangkan cluster 3, 4, 5, dan 6 masih belum menunjukan adanya gejala pengompakan karena sebagian besar lahannya merupakan lahan non-terbangun yang merupakan wilayah sub-urban dan pinggiran Metropolitan Semarang. Pengelompokkan kecamatan yang terjadi salah satunya dipengaruhi oleh adanya jaringan transportasi jalan arteri primer yang melalui koridor barat-timur dan utara-selatan. Karena hanya dimensi kepadatan saja yang terpenuhi dari tiga dimensi compact city, maka pengaruhnya terhadap transportasi menjadi negatif. Semakin tinggi gejala pengompakan malah berakibat tingginya angka pertumbuhan rasio kepemilikan mobil pribadi maupun sepeda motor pribadi, tingginya tingkat pergerakan menggunakan kendaraan yang diukur melalui angka Volume per Capacity Ratio (VCR) dan Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR). Kepadatan yang tinggi tanpa diikuti dengan penyebaran fasilitas yang baik dan terus mengalami peningkatan jumlah penduduk dan kawasan terbangun, mengakibatkan kebutuhan akan mobil dan sepeda motor pribadi akan terus meningkat tiap tahunnya. Kemudian jalan-jalan arteri primer dan kolektor primer pun akan semakin padat, dan permasalahan transportasi terjadi dimana-mana. Urban compactness harus didukung dengan penyebaran fasilitas umum dan permukiman yang merata, selain kepadatan yang tinggi sehingga bisa mengurangi ketergantungan terhadap kendaraan pribadi. Hal ini akan mengurangi pergerakan penduduk dan mengurangi potensi kemacetan karena volume lalu lintas berkurang