digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Saat ini muncul anggapan bahwa masyarakat tradisional Bali mulai makin permisif. Salah satu indikasinya adalah pelanggaran bhisama (istilah lokal yang mengacu pada peraturan mengenai isu yang terkait Agama Hindu) mengenai radius kesucian pura. Bhisama radius kesucian pura mengatur hanya kegiatan pura sebagai media untuk menguatkan aspek spiritual umat yang boleh ada dalam radius 5km dari pura, bukan untuk membangun akomodasi pariwisata. Studi kasus yang digunakan adalah permukiman sekitar Pura Besakih dan Batur, sebagai dua pura terbesar di Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pariwisata dan bagaimana peran bhisama sebagai pengendali terhadap perubahan unit hunian di daerah penelitian. Strategi pengumpulan data yang digunakan adalah kajian literatur, wawancara ke pemerintah (Bappeda Provinsi Bali, Kanwil Agama, dll), badan usaha pariwisata (PHRI dan Asita) dan masyarakat (PHDI, masyarakat sekitar dan akademisi) dan pengamatan objek langsung. Sedangkan analisa yang digunakan adalah kualitatif dan kuantitatif. Kuantitif digunakan untuk pemilihan sampel penelitian. Observasi diselenggarakan terhadap 15 unit sampel rumah (9 di Desa Besakih dan 6 di Desa Batur). Ditentukan radius kesucian terbagi tiga, yaitu dari penyengker pura-1 km, 1-3 km, dan 3-5 km. Setelah itu ditentukan daerah-daerah terdekat pura yang mengalami pengaruh pariwisata paling siginikan. Hal ini ditandai dengan banyaknya fasilitas pariwisata dan baiknya jalur penghubung. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa perubahan bentuk, fungsi dan makna unit hunian secara signifikan diakibatkan karena pengaruh pariwisata, terutama di Desa Besakih dibandingkan dengan yang terjadi di Batur. Perubahan ini umumnya seperti penggunaan bahan bangunan pabrikasi (masal) yang meninggalkan bahan bangunan lokal, pergeseran posisi tempat suci akibat fungsi baru (walau hal ini masih bisa diterima), penambahan warung dan penerapan konsep ornamentasi yang dulu belum dikenal. Selain itu, ditemukan penerapan arsitektur tradisional pada kedua objek penelitian yang ditentukan berdasarkan bentuk, fungsi dan makna bangunan dibagi menjadi tiga, yaitu arsitektur tradisional murni, sedang dan semu. Namun peran pengendali bhisama juga masih kuat, yaitu dengan tidak digunakannya bahan-bahan bangunan serupa dengan di pura, dan tidak membangun di bagian lebih tinggi dari pura dalam radius yang disyaratkan bhisama itu.