Kajian ini bertujuan untuk merumuskan dampak gentrifikasi pariwisata terhadap
pola permukiman Bali, apakah gentrifikasi pariwisata ini telah terjadi di Kelurahan
Ubud dan bagaimana dampak yang dihasilkan terhadap pola permukiman Bali pada
wilayah tersebut. Kelurahan Ubud sendiri memiliki cerminan pola permukiman
Bali yang masih kental dan kuat diantara kawasan permukiman lainnya yang
terdapat di Bali. Sebagai salah satu tujuan wisata internasional terkemuka, Bali
telah mengalami peningkatan pesat dalam pembangunan fasilitas pariwisata, yang
berimbas langsung pada kehidupan masyarakat lokal. Gentrifikasi pariwisata
merupakan fenomena pendatang atau investor yang terkait dengan industri
pariwisata menyebabkan perubahan signifikan dalam struktur sosial, ekonomi, dan
spasial pada suatu wilayah.
Pola permukiman Bali memiliki konsep kriteria tersendiri dalam penerapan
bangunan, eksternal bangunan, maupun bentuk kawasan yang didasari melalui
konsep Tri Hita Karana. Konsep Tri Hita Karana ini berfungsi sebagai penyelaras
antara alam semesta, lingkungan, dan manusia. Dalam eksternal bangunan dan
bentuk kawasan di Bali memiliki konsep Tri Mandala dan Sanga Mandala
diterapkan sebagai prinsip dasar dalam perencanaan tata ruang. Tri Mandala
membagi ruang menjadi tiga zona utama: zona suci (Utama Mandala), zona tengah
(Madya Mandala), dan zona luar (Nista Mandala), yang masing-masing memiliki
fungsi dan simbolisme tertentu. Sementara itu, Sanga Mandala mengacu pada
pembagian ruang dalam sembilan bagian yang mengikuti arah mata angin, dengan
pusat sebagai area paling sakral. Konsep-konsep ini diterapkan dalam eksternal
bangunan untuk menciptakan harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas,
mencerminkan filosofi keseimbangan yang khas dalam budaya Bali.
Penelitian ini menggunakan pendekatan mix-methods, yang menggabungkan
analisis deskriptif kualitatif dan statistik deskriptif. Data primer dan sekunder
diperoleh melalui observasi lapangan maupun wawancara dengan teknik purposive
sampling. Penelitian ini menganalisis gentrifikasi pariwisata dengan berbagai
variabel, seperti tingkat migrasi, perubahan fungsi kawasan, kepemilikan dan harga
lahan, pola konsumsi, struktur pekerjaan, kondisi psikologis masyarakat, investasi,ii
dan fasilitas. Selain itu, pola permukiman Bali dibagi menjadi tiga variabel:
bangunan, eksternal bangunan (dalam kavling tanah), dan bentuk kawasan. Metode
analisis theoritical descriptive digunakan untuk mencapai sasaran pertama, yaitu
mengidentifikasi kriteria gentrifikasi pariwisata dan pola permukiman Bali. Teknik
statistik deskriptif dan empirical descriptive digunakan untuk mencapai sasaran
kedua, yakni mengidentifikasi karakteristik gentrifikasi pariwisata dan pola
permukiman Bali di kawasan studi. Pada tahap berikutnya, kondisi ideal yang
diidentifikasi dibandingkan dengan kondisi aktual di lapangan menggunakan
analisis gap, untuk mengungkap perubahan pola permukiman Bali akibat
gentrifikasi pariwisata. Temuan dari analisis ini kemudian digunakan dalam sasaran
keempat, yaitu merumuskan dampak gentrifikasi pariwisata terhadap pola
permukiman Bali melalui teknik triangulasi, dengan membandingkan data valid
dari berbagai sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gentrifikasi pariwisata
terjadi di Kelurahan Ubud, terbukti dari beberapa indikator gentrifikasi yang
terpenuhi. Namun, terdapat perbedaan dari gentrifikasi pariwisata pada umumnya,
dalam kasus ini tidak terjadi migrasi keluar oleh masyarakat lokal karena budaya
dan adat istiadat yang masih kuat di kawasan tersebut. Gentrifikasi pariwisata
memengaruhi pola permukiman Bali, dengan perubahan signifikan pada bangunan,
eksternal bangunan, dan bentuk kawasan yang pada akhirnya mengurangi identitas
lokal setempat.