Sebagai bentuk media untuk pengayaan dan diseminasi budaya, alih wahana dalam seni
sudah banyak diterapkan dan digunakan seperti pada musik, film, tari, puisi, ataupun
seni rupa. Sebagai dua disiplin yang berbeda namun sama-sama menjadi bagian dari
rumpun seni, seni musik dan seni visual memiliki struktur dan prinsipnya masing –
masing dengan penamaannya yang serupa pula. Persamaan dan perbedaan ini
menimbulkan banyak ruang untuk didiskusikan ketika keduanya diteliti, dibandingkan,
serta dikolaborasikan untuk membuat sebuah karya seni alih wahana sebagai bentuk
diseminasi dari budaya Indonesia. Disertasi ini mengajukan kerangka translasi
intersemiotik yang komprehensif untuk memindahkan tanda-tanda musik dan lirik ke
dalam tanda-tanda visual pada perancangan motif tekstil, dengan studi kasus lagu
dolanan Jawa “Gundhul - Gundhul Pacul.” Berangkat dari kritik atas praktik desain
yang selama ini hanya “terinspirasi” musik yang cenderung literal, menonjolkan lirik
semata, serta mengabaikan elemen musik, penelitian ini menawarkan pendekatan
terpadu yang menyeimbangkan elemen musik (melodi, irama, harmoni, struktur,
tempo, dinamika, timbre) dan nilai/makna lirik, serta menempatkannya dalam konteks
sosio-kultural masyarakat Jawa. Secara teoretik, riset ini memadukan gagasan
interelasi seni (Munro; Langer) dengan translasi intersemiotik (Jakobson) dan
rekognisi dalam pemaknaan tanda, guna menunjukkan bahwa representasi visual musik
bukan sekadar kode teknis, melainkan produk pengalaman budaya yang hidup.
Metodologi yang digunakan adalah pendekatan kualitatif interdisipliner dengan
rancangan research-led-practice yang iteratif. Pengumpulan data dilakukan melalui (1)
studi literatur untuk menelusuri sejarah hubungan musik–visual (termasuk Nut Rante
sebagai representasi awal gendhing Jawa); (2) wawancara semi-terstruktur dengan ahli
sastra/etnolinguistik Jawa, etnomusikologi, antropologi musik, dan psikologi musik
untuk menggali makna lirik, karakter elemen musik, serta jembatan perseptualnya ke
visual; (3) participant-produced free-drawing exploratory study pada partisipan (?17
tahun) untuk menangkap representasi visual elemen musik dari perspektif pengguna
budaya; (4) focus group discussion (FGD) baik dengan pakar motif/ musik maupun
perwakilan Generasi Y dan Z untuk menguji keterbacaan makna, kesinambungan
visual-musikal, serta potensi aplikasinya. Data gambar dikodekan (arah, posisi, bentuk,
warna) dan dianalisis frekuensinya menggunakan NVivo, kemudian ditafsir secara
semiotik. Tahap akhir berupa perancangan motif tekstil berbasis formula visual hasil
analisis, dengan validasi kuantitatif (Skala Likert) dan penilaian kualitatif terhadap
kesesuaian musik–visual dan keterbacaan nilai.
Kontribusi utama penelitian ini mencakup tiga aspek. (1) Teoretis, penelitian ini
merumuskan model translasi intersemiotika musik-ke-visual yang mengintegrasikan
struktur musik, makna lirik, dan konteks sosio-kultural sebagai tiga poros setara. (2)
Metodologis, menghadirkan protokol research-led practice yang dapat direplikasi
dengan menggabungkan wawancara ahli, studi free-drawing lintas latar, analisis
tematik-semiotik, dan validasi multi-pihak untuk menjembatani riset dan praktik
desain. (3) Praktis, menghasilkan prototipe motif tekstil yang aplikatif bagi generasi Y
dan Z, serta menawarkan panduan bagi perajin agar tidak mereduksi lagu menjadi ikon
literal, melainkan menerjemahkan struktur dan makna musikal ke dalam komposisi
rupa yang bermakna.
Lebih jauh, hasil penelitian ini membuka paradigma baru dalam desain berbasis
sensoris, di mana pengalamans ensoris dan emosional dipertemukan dalam satu sistem
penciptaan yang integratif. Model translasi intersemiotika ini juga dapat diterapkan di
bidang lain seperti desain produk, arsitektur, dan media digital interaktif.
Perpustakaan Digital ITB