digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Sebagai bentuk media untuk pengayaan dan diseminasi budaya, alih wahana dalam seni sudah banyak diterapkan dan digunakan seperti pada musik, film, tari, puisi, ataupun seni rupa. Sebagai dua disiplin yang berbeda namun sama-sama menjadi bagian dari rumpun seni, seni musik dan seni visual memiliki struktur dan prinsipnya masing – masing dengan penamaannya yang serupa pula. Persamaan dan perbedaan ini menimbulkan banyak ruang untuk didiskusikan ketika keduanya diteliti, dibandingkan, serta dikolaborasikan untuk membuat sebuah karya seni alih wahana sebagai bentuk diseminasi dari budaya Indonesia. Disertasi ini mengajukan kerangka translasi intersemiotik yang komprehensif untuk memindahkan tanda-tanda musik dan lirik ke dalam tanda-tanda visual pada perancangan motif tekstil, dengan studi kasus lagu dolanan Jawa “Gundhul - Gundhul Pacul.” Berangkat dari kritik atas praktik desain yang selama ini hanya “terinspirasi” musik yang cenderung literal, menonjolkan lirik semata, serta mengabaikan elemen musik, penelitian ini menawarkan pendekatan terpadu yang menyeimbangkan elemen musik (melodi, irama, harmoni, struktur, tempo, dinamika, timbre) dan nilai/makna lirik, serta menempatkannya dalam konteks sosio-kultural masyarakat Jawa. Secara teoretik, riset ini memadukan gagasan interelasi seni (Munro; Langer) dengan translasi intersemiotik (Jakobson) dan rekognisi dalam pemaknaan tanda, guna menunjukkan bahwa representasi visual musik bukan sekadar kode teknis, melainkan produk pengalaman budaya yang hidup. Metodologi yang digunakan adalah pendekatan kualitatif interdisipliner dengan rancangan research-led-practice yang iteratif. Pengumpulan data dilakukan melalui (1) studi literatur untuk menelusuri sejarah hubungan musik–visual (termasuk Nut Rante sebagai representasi awal gendhing Jawa); (2) wawancara semi-terstruktur dengan ahli sastra/etnolinguistik Jawa, etnomusikologi, antropologi musik, dan psikologi musik untuk menggali makna lirik, karakter elemen musik, serta jembatan perseptualnya ke visual; (3) participant-produced free-drawing exploratory study pada partisipan (?17 tahun) untuk menangkap representasi visual elemen musik dari perspektif pengguna budaya; (4) focus group discussion (FGD) baik dengan pakar motif/ musik maupun perwakilan Generasi Y dan Z untuk menguji keterbacaan makna, kesinambungan visual-musikal, serta potensi aplikasinya. Data gambar dikodekan (arah, posisi, bentuk, warna) dan dianalisis frekuensinya menggunakan NVivo, kemudian ditafsir secara semiotik. Tahap akhir berupa perancangan motif tekstil berbasis formula visual hasil analisis, dengan validasi kuantitatif (Skala Likert) dan penilaian kualitatif terhadap kesesuaian musik–visual dan keterbacaan nilai. Kontribusi utama penelitian ini mencakup tiga aspek. (1) Teoretis, penelitian ini merumuskan model translasi intersemiotika musik-ke-visual yang mengintegrasikan struktur musik, makna lirik, dan konteks sosio-kultural sebagai tiga poros setara. (2) Metodologis, menghadirkan protokol research-led practice yang dapat direplikasi dengan menggabungkan wawancara ahli, studi free-drawing lintas latar, analisis tematik-semiotik, dan validasi multi-pihak untuk menjembatani riset dan praktik desain. (3) Praktis, menghasilkan prototipe motif tekstil yang aplikatif bagi generasi Y dan Z, serta menawarkan panduan bagi perajin agar tidak mereduksi lagu menjadi ikon literal, melainkan menerjemahkan struktur dan makna musikal ke dalam komposisi rupa yang bermakna. Lebih jauh, hasil penelitian ini membuka paradigma baru dalam desain berbasis sensoris, di mana pengalamans ensoris dan emosional dipertemukan dalam satu sistem penciptaan yang integratif. Model translasi intersemiotika ini juga dapat diterapkan di bidang lain seperti desain produk, arsitektur, dan media digital interaktif.