digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Sektor ketenagalistrikan Indonesia menghadapi transisi penting untuk menjaga keamanan energi, daya saing ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan. Meskipun terdapat kemajuan kebijakan, PLTU berbasis batubara masih menyumbang lebih dari 50% produksi listrik nasional sehingga menyebabkan emisi tinggi dan risiko stranded assets. Untuk mendukung target Net Zero Emissions (NZE) 2060, penelitian ini mengevaluasi jalur dekarbonisasi melalui konversi dan retrofitting PLTU dan PLTGU menggunakan amonia, biomassa, hidrogen, serta teknologi carbon capture and storage (CCS), dengan tujuan mengidentifikasi strategi yang layak tanpa mengurangi keandalan sistem. Penelitian ini menjawab tiga pertanyaan utama: bagaimana dampak konversi PLTU dan PLTGU terhadap bauran pembangkitan, kapasitas, dan emisi; bagaimana kinerja konversi dibandingkan skenario business-as-usual dalam hal output listrik, biaya investasi, dan keandalan sistem; serta strategi apa yang dapat diterapkan PLN dan pembuat kebijakan untuk menyeimbangkan komitmen lingkungan dengan keterbatasan operasional dan finansial. Empat skenario dikembangkan: BAR, BAD, RET, dan CCS; merepresentasikan tingkat ambisi teknologi yang berbeda. Pendekatan kuantitatif berbasis skenario menggunakan LEAP-NEMO dan solver HiGHS, dengan kalibrasi berdasarkan RUKN 2025–2060, RUPTL 2025–2034, dan data PLN, ESDM, IPCC, serta IEA. Hasil menunjukkan BAR dan BAD tetap bergantung pada batubara hingga setelah 2040, sedangkan RET dan CCS menurunkan emisi lebih dari 85%. RET mencapai 88% energi terbarukan pada 2060, sementara CCS memberikan reduksi lebih dalam namun membutuhkan investasi lebih besar (USD 149–164 miliar). Proyeksi permintaan listrik meningkat dari 316 TWh (2024) menjadi 1.347 TWh (2060), dengan kebutuhan kapasitas 407– 563 GW. Temuan ini menegaskan pentingnya teknologi transisi dalam dekarbonisasi jangka panjang Indonesia.