digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Cintya Nurul Apsari
PUBLIC yana mulyana

Kenari (Canarium indicum L.) merupakan tanaman asli Indonesia dan banyak tersebar pertumbuhannya di daerah Indonesia bagian timur dengan sentra penyebaran antara lain Pulau Kangean, Pulau Bawean, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku. Produksi kenari setiap tahunnya cukup tinggi yaitu mencapai 4 – 7 ton NIT (nut in testa)/ha/tahun. Walaupun produksinya tinggi, hingga saat ini di Indonesia kenari tidak diperhitungkan menjadi komoditi unggulan dan pemanfaatannya masih terbatas. Telah dilaporkan bahwa kenari mengandung kadar lemak yang tinggi yaitu sekitar 75% (b/b). Saat ini minyak kenari telah dikomersilkan dengan nama “Nangai oil” oleh SeneGence International dengan wilayah distribusi Amerika, Australia, dan Kanada. Ampas sisa pengepresan minyak biji kenari (pressed cake/biji kenari defatted) masih mengandung nutrisi yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Selama ini, biji kenari defatted biasa dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Penelitian mengenai protein biji kenari dan pemanfaatannya saat ini belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti kandungan protein biji kenari (Canarium indicum L.), guna mengembangkan pemanfaatan protein biji kenari sebagai hidrolisat protein yang memiliki aktivitas antioksidan. Biji kenari NIT (nut in testa) diberikan perlakuan awal berupa pemanasan, pengupasan, pengepresan mekanik, dan pembuatan serbuk hingga diperoleh serbuk biji kenari defatted. Serbuk tersebut selanjutnya dikarakterisasi melalui analisis proksimat dengan penentuan kadar protein menggunakan metode Kjeldahl. Hasil menunjukkan biji kenari defatted memiliki kadar protein sebesar 36,039 ± 0,003 % dari bobot total sampel (b/b). Selanjutnya biji kenari defatted diekstraksi dengan dapar fosfat dan menghasilkan ekstrak protein biji kenari defatted. Hasil analisis kadar protein menggunakan metode Lowry menunjukkan bahwa ekstrak protein biji kenari defatted memilik kadar protein sebesar 43,246 ± 3,064 mg/mL. Ekstrak protein ini kemudian dihidrolisis menggunakan protease yaitu papain, flavourzyme, dan pepsin. Optimasi proses untuk menentukan kondisi hidrolisis terbaik dilakukan dengan response surface methodology (RSM). Optimasi yang dilakukan melibatkan 3 variabel bebas yaitu konsentrasi enzim/substrat [E/S] (%), waktu hidrolisis (jam), dan suhu hidrolisis (°C). Parameter yang diamati dari variasi perlakuan tersebut antara lain kadar protein (metode Lowry), derajat hidrolisis (metode Ninhidrin), dan aktivitas antioksidan (metode DPPH). Serta dilakukan tambahan pengamatan terhadap profil SDS-PAGE masing-masing perlakuan. Aktivitas antioksidan tertinggi menjadi parameter penentu kondisi hidrolisis paling optimum. Hasil penelitian menunjukkan hidrolisat protein yang dihasilkan menggunakan pepsin dengan konsentrasi 1% (b/v) dan kondisi hidrolisis pada suhu 39,5°C selama 5 jam menghasilkan aktivitas antioksidan tertinggi. Hidrolisat protein ini memiliki IC50 = 0,195 ± 0,001 mg/mL atau setara asam askorbat IC50 = 10,635 ± 0,252 ?g/mL. Hidrolisat protein tersebut memiliki kadar protein sebesar 0,871 ± 0,084 mg/mL dan derajat hidrolisis sebesar 2,830 ± 0,057 %. Hidrolisat protein biji kenari dengan aktivitas antioksidan tertinggi kemudian dikarakterisasi lebih lanjut. Karakterisasi dilakukan untuk mengetahui kandungan yang mempengaruhi aktivitas antioksidan tersebut. Karakterisasi yang dilakukan meliputi analisis asam amino (metode LCMS/MS), identifikasi peptida melalui pendekatan proteomik (metode UHPLC-HRMS), identifikasi senyawa selain peptida (metode UHPL-HRMS), dan studi bioinformatika/in silico. Hasil analisis asam amino dengan metode LCMS/MS menunjukkan kandungan asam amino yang tertinggi pada hidrolisat protein berturut-turut yaitu Arg (505,920 mg/kg), Leu (152,189 mg/kg), Ile (43,383 mg/kg), Val (26,119 mg/kg), His (6,592 mg/kg), dan Cys (3,968 mg/kg). Berdasarkan komposisi asam amino ini mengungkapkan bahwa hidrolisat protein biji kenari mengandung lebih banyak asam amino esensial dan mengandung asam amino tipe branched-chain amino acids (BCAA) yaitu Leu, Ile, dan Val. Hasil identifikasi peptida dengan metode UHPLC-HRMS menunjukkan terdapat 22 peptida yang terkandung dalam hidrolisat protein biji kenari defatted. Peptida tersebut terdiri dari 6 – 20 asam amino. Sekuens asam amino pada peptida mengandung asam amino tipe BCAA, terlebih didominasi oleh leusin (L). Selain sebagai antioksidan, hidrolisat protein ini dapat dimanfaatkan untuk suplementasi pada pasien ensefalopati hepatik dan rehabilitasi pasien pasca stroke terutama yang memiliki gejala sarkopenia. Hal ini berdasarkan komposisi asam amino BCAA sebagai mayoritas penyusun peptida dan dapat membuka peluang lebih besar tentang potensi pemanfaatan hidrolisat protein biji kenari sebagai nutrasetikal. Hasil analisis kandungan senyawa dengan metode UHPLC-HRMS mengidentifikasi 11 senyawa selain peptida pada hidrolisat protein. Sebagian besar senyawa tersebut didominasi oleh asam lemak dan turunannya. Teridentifikasi pula senyawa dari golongan asam amino yaitu fenilalanin dan triptofan. Hasil studi in silico pada prediksi antioksidan menemukan bahwa peptida EYKLTYYTPEYPTK merupakan peptida bioaktif yang berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan. Peptida ini berperan sebagai penangkap radikal. Hasil prediksi toksisitas menunjukkan bahwa keseluruhan peptida yang terkandung dalam hidrolisat protein biji kenari defatted bersifat tidak toksik. Hasil ini mendukung potensi hidrolisat protein biji kenari defatted untuk dimanfaatkan sebagai nutrasetikal. Namun, hasil prediksi alergenisitas menunjukkan terdapat 9 peptida yang kemungkinan bersifat alergen. Data ini penting untuk diketahui, mengingat tujuan pemanfaatan hidrolisat protein biji kenari sebagai nutrasetikal, sehingga diperlukan studi lebih lanjut untuk memastikan hasil prediksi alergenisitas tersebut. Secara keseluruhan hidrolisat protein biji kenari defatted berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku produk nutrasetikal dengan aktivitas antioksidan yang dapat diproduksi sebagai suplemen kesehatan dalam pencegahan berbagai penyakit degeneratif.