digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Wacana pelestarian dan cagar budaya telah berkembang dari masa ke masa, dan lingkup kegiatan pelestarian mencakup lingkungan binaan maupun lingkungan alami. Dinamika zaman menunjukkan bahwa, telah terjadi pergeseran paradigma di dalam kegiatan pelestarian, yakni dari pendekatan pelestarian berbasis monumen, objek tunggal dan bersifat fisik menuju kepada pendekatan berbasis lingkungan dan nilai atau nonfisik. Pelestarian berbasis kawasan juga tidak lagi hanya untuk sekedar penghormatan terhadap romantisme sejarah masa lalu, tetapi lebih kepada pertimbangan dan relevansi terhadap kebutuhan komunitas dan sekaligus pada aspek-aspek keberlanjutan. Berbeda dengan gagasan klasik dalam pelestarian, penetapan signifikansi budaya kini tidak lagi dilakukan hanya berdasarkan pertimbangan entitas fisik semata. Realitas menunjukkan bahwa keberadaan cagar budaya tak utuh di dalam sebuah kawasan memiliki persoalan dan membutuhkan pendekatan spesifik. Di dalam diskursus pengembangan kawasan urban, pengelolaan cagar budaya tak utuh belum atau tidak dibahas dengan lengkap dalam ranah teori maupun kebijakan pelestarian. Desakan modernisasi mengancam kelestarian cagar budaya yang masih utuh sekalipun, apalagi cagar budaya tak utuh dengan kondisi rusak, hancur dan hilang. Seiring dengan dinamika pembangunan, maka pelestarian juga menghadapi ancaman konflik akibat kontestasi kepentingan dan perbedaan persepsi baik dari aspek ekonomi, sosial budaya, politik, maupun lingkungan. Perspektif baru sangat diperlukan untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan signifikansi budaya dan pengelolaan konflik bagi cagar budaya tak utuh. Berbasis kepada pemikiran terbaru dalam Expanding Heritage Discourse (EHD), maka penelitian ini merumuskan gagasan baru berupa model konseptual pelestarian berbasis kawasan bagi cagar budaya tak utuh. Penyusunan model ini didalami melalui studi kasus Trowulan, kawasan ibu kota Kerajaan Majapahit (1293-1527). Walaupun telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional tahun 2013, namun Trowulan yang didominasi oleh cagar budaya tak utuh, terus menghadapi ancaman perusakan dan penghancuran cagar budaya akibat beragam kontestasi. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif terhadap studi kasus tunggal dan mendalam secara konstruktif dan interpretatif. Pengembangan teori dilakukan berdasarkan pola makna dan interaksi yang terjadi dari konstruksi pemikiran subjek yang diteliti. Teknik analisis sinkronik dan diakronik dilakukan dalam penelusuran sejarah untukmengidentifikasi aspek-aspek penetapan signifikansi budaya. Selanjutnya, penstrukturan kontestasi menjadi landasan bagi pengelolaan konflik terhadap pelestarian. Terdapat dua opsi perumusan keputusan, apakah kompromi dengan keselarasan pelestarian ataukah konflik yang bertentangan dengan pelestarian. Keputusan bersama ditetapkan melalui proses koalisi advokasi yang juga mempersiapkan bentuk-bentuk kegiatan dokumentasi apabila konflik tidak bisa dihindarkan dan terjadi penghapusan pelestarian. Secara akademis, model konseptual pelestarian berbasis kawasan merupakan kontribusi penelitian disertasi dalam teori pelestarian bagi cagar budaya tak utuh. Penelitian ini mencermati adanya pergeseran paradigma dalam perluasan wacana pelestarian yang membuka pemahaman baru tentang pertimbangan dimensi nonfisik, pelibatan komunitas, serta perhatian pada lingkungan. Di dalam keilmuan arsitektur, pelestarian tidak lagi menempatkan cagar budaya sebagai objek tunggal semata. Namun demikian, untuk pemanfaatan cagar budaya bagi masyarakat dan lingkungan, objek cagar budaya perlu didudukkan sebagai bagian dari lingkungan yang lebih luas. Pelestarian berbasis kawasan tidak terbatas pada aspek fisik (tangible), tetapi pertimbangan terhadap aspek-aspek tak teraga (intangible) menjadi penting dalam pengelolaan rona (setting) kawasan dan lingkungan yang kondisinya tidak utuh. Temuan penelitian ini juga menegaskan kembali bahwa ada pergeseran dalam cara pikir yang semula lebih ditentukan oleh determinan fisik kepada gagasan budaya yang diperlukan utntuk perlindungan terhadap cagar budaya tak utuh. Kebaruan dalam perspektif pelibatan dimensi nonfisik, persepsi masyarakat, serta pertimbangan lingkungan menjadi legitimasi bagi pelestarian dan pengelolaan cagar budaya, khususnya cagar budaya tak utuh. Penelusuran sejarah dalam penelitian ini dipakai sebagai salah satu cara untuk mengidentifikasi aspek-aspek penetapan signifikansi budaya di Trowulan, yakni aspek identitas, memori, dan arti sosial budaya