Arsitektur dan kekuasaan adalah suatu hal yang sulit dipisahkan lantaran telah
memiliki hubungan yang terjadi sejak lama. Tidak hanya menjadi cara bagi manusia
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam berhuni, arsitektur juga berperan
sebagai cara bagi manusia—termasuk penguasa- untuk berekspresi dan
mengaktualisasi kekuasaannya secara spasial. Prinsip ini yang kemudian diterapkan
ke dalam perencanaan lingkungan binaan, mulai dari skala gedung atau bangunan,
ruang publik, hingga skala kota yang lebih luas. Alhasil, ruang-ruang kota kerap
dipenuhi oleh simbol-simbol kekuasaan yang dapat terbaca dari desain gedunggedung pemerintahan, rancangan kawasan pusat pemerintahan, serta ibu kota
negara. Fenomena ini lazim terjadi di setiap negara, begitu pula di Ibu Kota Negara
Indonesia—terutama di Kawasan Medan Merdeka Jakarta yang menjadi pusat
jalannya roda pemerintahan, baik tingkat pusat maupun daerah.
Medan Merdeka merupakan area terbuka seluas hampir delapan puluh hektar yang
merekam kisah panjang pergantian kekuasaan yang terjadi di ibu kota sejak lama.
Lahan yang dibuka pada abad ke-18 oleh Pemerintah Hindia Belanda ini terus
mengalami perubahan nama, wujud, serta fungsi yang disebabkan adanya
perubahan kebijakan dari pemegang kekuasaan yang silih berganti. Tidak hanya itu,
Medan Merdeka juga menjadi saksi bisu berbagai peristiwa penting yang dilalui
bangsa Indonesia setelah merebut kemerdekaan pada 1945 dan terus berlangsung
hingga sekarang.
Seiring perkembangan zaman, Kawasan Medan Merdeka Jakarta terus mengalami
perubahan, baik perubahan tampilan arsitektur gedung-gedung yang berada di
sekeliling Tugu Monumen Nasional maupun perubahan fungsi ruang terbuka yang
disesuaikan dengan kebutuhan warga kota pada setiap masa. Medan Merdeka pun
menjelma sebagai sebuah perkamen (palimpsest) lingkungan binaan yang ditulis
secara berulang oleh jejak arsitektur dari era kekuasaan dalam waktu berlainan,
tetapi dapat ditelusuri dan disusun secara kronologis seperti apa superimposisinya.
Perjalanan panjang lingkung binaan Kawasan Medan Merdeka sebagai lokasi pusat
pemerintahan Republik Indonesia dalam kurun 75 tahun ke belakang inilah yang
mendorong penulis untuk mengangkat tema ini sebagai objek penelitian.Penelitian ini hendak membahas bagaimana suatu rezim atau pemegang kekuasaan
memandang dan memaknai Medan Merdeka melalui paham/nilai yang dimilikinya,
kemudian merepresentasikannya ke dalam bentuk-bentuk spasial yang terdapat
pada Medan Merdeka Jakarta. Selain itu, penelitian ini juga ingin menggali lebih
jauh terhadap kontestasi kekuasaan—sebagai respons atas pergantian penguasa
yang terjadi pada setiap masa- yang disalurkan melalui pemaknaan ulang,
penerusan, bahkan peniadaan nilai, makna, dan fungsi terdahulu yang terjadi di
Medan Merdeka Jakarta selama 75 tahun Indonesia merdeka.
Adapun usulan studi kasus yang diajukan dalam penelitian ini adalah seluruh areal
lingkungan binaan yang ada di Taman Medan Merdeka (meliputi tugu monumen,
patung, maupun ruang terbuka hijau yang ada di dalamnya) beserta bangunan
signifikan yang terdapat di zona penyangga Medan Merdeka (empat bulevar utama
yang membatasi Taman Medan Merdeka). Hal ini sesuai dengan batas-batas yang
ditetapkan dan digambarkan dalam peraturan pemerintah pusat melalui Keputusan
Presiden Nomor 25 Tahun 1995 tentang Pembangunan Kawasan Medan Merdeka
di Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Penelitian historis ini dilakukan dengan metode diakronik-sinkronik yang
melibatkan empat prosedur, yaitu heuristik, verifikasi-kritik sumber (baik internal
maupun eksternal), sintesis informasi, serta analisis dan interpretasi yang bertujuan
untuk mereposisikan wacana atau narasi mengenai Medan Merdeka. Pengumpulan
sumber dilakukan secara bertahap, meliputi pengambilan sumber primer dan
sekunder. Sumber primer terdiri atas arsip foto, video, peta, artikel, naskah pidato
dari majalah, buku, serta surat kabar sezaman yang dikumpulkan dari koleksi
Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI),
UPK Monumnen Nasional, serta penyedia jasa layanan arsip digital berbasis daring.
Wawancara dan kutipan terhadap perencana dan para pembuat kebijakan juga
dilakukan dalam pengumpulan data primer ini. Adapun sumber sekunder yang
dikumpulkan antara lain wawancara terhadap sejarawan dan observasi langsung.
Penulis berharap penelitian ini dapat menjadi dokumentasi sejarah arsitektur, kritik,
sekaligus wacana dalam memaknai ulang nilai dan narasi terkait lingkungan binaan
Medan Merdeka Jakarta pada konteks waktu yang lebih kini, terlebih lagi di tengah
agenda pemerintah yang hendak melakukan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN)
Indonesia dari DKI Jakarta ke wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara di Provinsi
Kalimantan Timur.