digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Dwi Prasetyo Aji Wijaya
PUBLIC Irwan Sofiyan

COVER Dwi Prasetyo Aji Wijaya
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 1 Dwi Prasetyo Aji Wijaya
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 2 Dwi Prasetyo Aji Wijaya
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 3 Dwi Prasetyo Aji Wijaya
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 4 Dwi Prasetyo Aji Wijaya
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 5 Dwi Prasetyo Aji Wijaya
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 6 Dwi Prasetyo Aji Wijaya
PUBLIC Irwan Sofiyan

PUSTAKA Dwi Prasetyo Aji Wijaya
PUBLIC Irwan Sofiyan

Perkembangan dunia konstruksi kini berkembang begitu pesat, ditandai dengan dengan banyaknya proyek pembangunan infrastruktur berskala besar yang dibangun oleh pemerintah. Dalam pelaksanaannya, pemerintah tidak menjadi aktor tunggal dalam pembangunan infrastruktur melainkan melalui pelibatan sektor swasta, mulai dari merencanakan, membangun, dan mengawasi proyek konstruksi. Sinergi antara pemerintah dan sektor swasta ini merupakan penerapan dari prinsip Good Governance. Konsep memberdayakan pelaku swasta ini, menuntut adanya sertifikasi sebagai instrumen dalam mengontrol dan menjaga kualitas pelayanan penyedia jasa dan menjamin profesionalisme serta kompetensi tenaga kerja konstruksi yang bekerja. Karena tenaga kerja merupakan salah satu unsur penting yang mempengaruhi kelangsungan dan kelancaran pelaksanaan proyek konstruksi (Tamin, 2005). Sertifikasi pada umumnya sifatnya voluntary terutama dalam sistem bisnis, namun pemerintah dapat mewajibkan (mandatory) untuk pelayanan publik karena menyangkut keselamatan masyarakat. Amanat Undang-Undang No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UU 18/1999) mensyaratkan bahwa setiap orang yang bekerja di bidang jasa konstruksi harus memiliki sertifikat (Penjelasan Pasal 9 UU 18/1999). Tenaga ahli manajemen yang bekerja di kontraktor dengan sistem bisnis secara tidak langsung juga wajib untuk memiliki sertifikat keahlian. Sertifikat untuk tenaga ahli manajemen disamakan pengaturannya dengan tenaga ahli insinyur. Padahal kedua entitas tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Tenaga ahli manajemen bekerja mengelola sumber daya dengan nilai dan etika bisnis, sedangkan tenaga ahli insinyur merupakan domain lain yang bekerja dengan nilai dan etika profesi untuk melayani dan melindungi keselamatan masyarakat. Dampak penerapan dari kewajiban sertifikasi di Indonesia, dalam pelaksanaannya menimbulkan berbagai permasalahan. Permintaan sertifikat menjadi membludak, akibatnya sertifikat disalahgunakan menjadi komoditas yang diperjualbelikan sehingga seseorang bisa memiliki sertifikat tanpa harus memiliki kompetensi seperti yang tertera di dalam sertifikat (Warwan, 2008). Jual beli sertifikat ini menjadikan kompetensi pemegang sertifikat menjadi tidak terjamin (Auliandari, 2015). Tidak ada jaminan mutu bahwa pemegang sertifikat memiliki kompetensi sesuai dengan sertifikat yang dimilikinya (Widiasanti, 2017). Penyelenggaraan sertifikasi mandatory dilakukan oleh asosiasi profesi melalui Badan Sertifikasi Asosiasi menyebabkan terjadinya konflik kepentingan karena asosiasi profesi dapat menguji anggotanya sendiri (Widiasanti, 2017a). Saat ini pengaturan sertifikasi tenaga ahli nasional masih dalam masa transisi dari ketentuan UU 18/1999 dengan munculnya pengaturan baru yakni Undang-Undang No.2 Tahun 2017 (UU 2/2017). Pada pengaturan berdasarkan UU 2/2017 sertifikasi diwajibkan bagi seluruh tenaga kerja konstruksi termasuk tenaga ahli manajemen yang dilaksanakan oleh LSP yang dibentuk oleh asosiasi profesi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran apabila permasalahan pelaksanaan sertifikasi yang dilakukan pada masa lalu menjadi terulang. Penelitian ini bertujuan untuk dapat memberikan masukan terhadap sistem sertifikasi tenaga ahli manajemen di Indonesia. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan kajian literatur yang akan menghasilkan identifikasi awal dan temuan yang perlu dilakukan validasi pada penelitian selanjutnya. Penelitian dilakukan dengan mengacu pada metodologi yang meliputi kegiatan studi literatur, evaluasi dan identifikasi permasalahan, analisa masukan, dan kesimpulan. Evaluasi dilakukan untuk menganalisis kesesuaian sertifikasi tenaga ahli konstruksi di Indonesia dengan penyelenggaraan sertifikasi berdasarkan best practices. Metode evaluasi dilakukan dengan cara desk evaluation terhadap variabel utama beserta aspek-aspek sistem sertifikasi yang telah berjalan berdasarkan UU 18/1999 dan pengaturan baru UU 2/2017 beserta peraturan-peraturan turunannya. Dari hasil evaluasi terhadap sistem sertifikasi di Indonesia, menunjukkan bahwa pengaturan sertifikasi berdasarkan PP 04/2010 memiliki tingkat kesesuaian lebih tinggi kepada best practices of certification dibandingkan dengan sertifikasi berdasarkan PP 28/2000 dan UU 2/2017. Hal ini menunjukkan masih terdapat aspek-aspek yang perlu disempurnakan pada sistem sertifikasi tenaga ahli yang sudah ada. Arah penyempurnaan dirumuskan dengan penyusunan masukan dan rekomendasi aspek-aspek yang belum sesuai dengan best practice atau yang masih perlu untuk disempurnakan. Masukan tersebut disusun sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas tenaga ahli manajemen konstruksi melalui sistem sertifikasi yang mampu menjadi instrumen dalam mengontrol dan menjaga kompetensi tenaga kerja konstruksi sehingga dapat meningkatkan daya saing industri konstruksi nasional.