digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Susy Prajna Sari
PUBLIC Sandy Nugraha

Pendidikan usia dini adalah hal yang sangat penting karena pendidikan, perlakuan, dan stimulus yang diperoleh pada periode ini akan berpengaruh pada karakter anak, termasuk bagi anak dengan autisme. Berdasarkan data yang diungkap Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada tahun 2015 penderita autisme di Indonesia mencapai 12.800 anak dan diprediksi terus meningkat dengan pertambahan 500 orang per tahun (Harian Nasional, 2018). Istilah autisme sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Kanner dan dideskripsikan sebagai ketidakmampuan manusia untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan dalam penggunaan bahasa dan kalimat, gangguan dalam berperilaku yang ditunjukkan dengan aktivitas yang repetitif dan stereotype, serta gangguan dalam hal integrasi sensori. Namun, saat ini tidak banyak fasilitas pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik mereka. Autism Spectrum Disorders (ASD) atau yang lebih dikenal dengan autisme merupakan spektrum gangguan perkembangan. Oleh karena itu, karakteristik setiap anak autis dapat berbeda satu dengan yang lain. Anak dengan autisme pada dasarnya memiliki ketidakmampuan dalam hal integrasi sensori. Ketidakmampuan mengintegrasikan stimulus-stimulus ini yang menyebabkan anak memiliki perilaku yang “berbeda” dari anak pada umumnya sebagai bentuk respons mereka terhadap stimulus tersebut. Meskipun demikian, perilaku ini dapat dikendalikan dan dipengaruhi oleh lingkungan fisik di sekitarnya. Selain itu, 30-60% anak dengan autisme menunjukkan adanya gejala ADHD (Attention Deficit and Hyperactivity Disorders) yang menyebabkan mereka memiliki kesulitan dalam memperhatikan (inattention), mengingat sesuatu, mengorganisasikan pekerjaan, dan cenderung memiliki perilaku yang impulsif (autismspeaks.org, 2019). Hal ini tentu menjadi salah satu tantangan dalam belajar bagi anak dengan autisme. Tantangan lainnya adalah kegiatan akademik dirasa terlalu sulit dan membosankan bagi anak dengan autisme karena adanya sensory overload dari lingkungan sekolah. Pada perancangan fasilitas pendidikan anak autis usia dini ini, terdapat dua faktor yang perlu diperhatikan yaitu faktor internal dan eksternal anak. Faktor internal berhubungan dengan karakteristik dari anak dengan autisme. Hal ini perlu dipelajari untuk mengetahui dan memahami kebutuhan ruang anak. Sedangkan faktor eksternal berhubungan dengan ruang luar dan lingkungan di sekitar anak. Pemahaman faktor eksternal ini akan dicapai dengan mengkaji teori mengenai lingkungan belajar dan lingkungan terapeutik agar tercipta fasilitas pendidikan yang optimal bagi anak autis sebagai wadah perkembangan dan terapi penyembuhan anak. Berdasarkan analisis dan pembahasan yang dilakukan terhadap kedua faktor tersebut, didapatkan beberapa kriteria perancangan yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan buatan (built-environment) yang nyaman bagi anak autis untuk belajar dan beraktivitas. Kriteria yang paling utama adalah kepekaan sistem indra (Multi-sensory Sensitivities) karena anak autis memiliki kelemahan dalam integrasi sensori, dan didukung dengan kriteria lainnya berdasarkan teori lingkungan terapeutik. Konsep perancangan, “Sweating The Excessive Energy”, didasarkan pada kriteria-kriteria tersebut. Memahami perilaku yang dimiliki anak autis, konsep ini bertujuan untuk memfasilitasi kelebihan energi yang dimiliki oleh anak dengan autisme agar mereka dapat fokus pada proses belajar-mengajar, dengan tetap menyediakan distraksi positif (positive distraction) berdasarkan kepekaan sistem indra yang menenangkan bagi anak dengan autisme. Tujuan akhir dari perancangan ini adalah menghasilkan sebuah fasilitas Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) khusus anak dengan autisme sebagai lingkungan fisik yang kondusif untuk belajar dan berkembang, serta sebagai wadah terapi penyembuhan anak.