Penataan permukiman ilegal merupakan bagian dari program pemerintah sebagai upaya mengembalikan fungsi guna lahan sesuai peruntukannya. Persoalan terbesar terjadi pada dua hal yaitu ketika terjadi penolakan relokasi dan kegagalan adaptasi pemukim di tempat hunian baru. Beberapa konsep dan studi praksis relokasi menunjukan terdapat tiga kelompok faktor penentu keberhasilan relokasi yaitu : faktor interaksi sosial, ekonomi keluarga, dan lingkungan tempat tinggal. Di samping itu, terdapat tiga bentuk adaptasi paska relokasi, yaitu: adaptasi melalui perubahan fisik lingkungan, melalui perilaku individu, dan kegagalan adaptasi (withdrawal).
Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui tahapan pada proses relokasi pemukim; 2) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penolakan (resistance) dan penerimaan (acceptance) komunitas dalam proses relokasi; dan 3) mengidentifikasi proses adaptasi bermukim paska relokasi. Untuk tujuan ini peneliti menggunakan kasus relokasi pemukim bantaran Sungai Cikapundung ke rumah susun, yang telah diubah menjadi Teras Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cikapundung, Lebak Siliwangi, Kota Bandung.
Pengumpulan data dilakukan melalui proses pencarian keseluruhan pemukim yang terkena program relokasi. Analisis data menggunakan teknik: 1) analisis historis untuk mengetahui kronologi program relokasi; dan 2) analisis konten langsung (direct content analisys) digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan dan penolakan relokasi serta pola adaptasi bermukim.
Berdasarkan studi, disimpulkan bahwa terdapat dua faktor baru: faktor norma-aturan dan kebijakan, serta faktor agama disamping tiga faktor konseptual sebelumnya. Selanjutnya, pada kasus ini terbukti terdapat tiga bentuk adaptasi
sebagaimana studi sebelumnya. Temuan studi ini diharapkan berkontribusi menambah bangunan pengetahuan tentang penataan permukiman ilegal yang dapat diterima oleh masyarakat dan pembangunan kota yang berkelanjutan.
Perpustakaan Digital ITB