Tindakan curang atau manipulasi dalam proses pemilu (electoral fraud)
merupakan suatu upaya campur tangan yang bersifat ilegal. Tindakan ini akan
berpengaruh terhadap hasil penghitungan suara, yakni terkait penambahan
perolehan suara peserta pemilu/calon tertentu maupun pengurangan perolehan
suara pada lawan. Proses manipulasi pemilu dapat terjadi di setiap tahap proses
penyelenggaraan pemilu salah satunya pada tahap rekapitulasi perhitungan suara.
Pada tahun 2014, KPU RI menampilkan pindaian formulir C1 di web untuk
keterbukaan dan transparansi hasil pemilu. Formulir C1 ini berisi hasil
perhitungan suara dari setiap TPS di seluruh Indonesia. Melalui pindaian ini
masyarakat dapat dengan mudah memantau hasil perhitungan suara pada tiap TPS.
Sebuah aplikasi bernama Kawal Pemilu dibuat dengan tujuan sebagai media real
count rekapitulasi suara pemilihan presiden berdasarkan pindaian formulir C1
pada waktu itu. Namun, karena basis data yang digunakan bersifat sentralisasi
sehingga menyebabkan aplikasi ini rentan terhadap serangan peretas. Blockchain
merupakan teknologi basis data terdistribusi. Basis data transaksi blockchain juga
tidak dapat dirusak sehingga lebih aman. Blockchain awalnya diperkenalkan oleh
Satosi Nakamoto pada tahun 2008 dalam bidang cryptocurrency. Namun, kini
blockchain telah berkembang pesat dan telah diimplementasikan dalam berbagai
bidang diantaranya pencatatan identitas digital, sistem kesehatan, rantai pasokan,
termasuk juga proses pemungutan suara digital. Pada penelitian ini dirancang dan
diimplementasikan sebuah sistem pencatatan hasil rekapitulasi pemilu
berdasarkan pindaian formulir C1 KPU dengan teknologi blockchain sebagai
media pengawasan oleh masyarakat terhadap rekapitulasi pemilu. Dari hasil
pengujian, teknologi blockchain dapat mendukung sistem pencatatan hasil pemilu
secara real count ini dengan basis data terdistribusi tanpa perlu khawatir terhadap
serangan peretas, serta sebagai media informasi untuk mendeteksi adanya
manipulasi pada hasil perhitungan pemilu oleh KPU.