Plastik styrofoam banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai kemasan barang elektronik dan makanan siap saji, sehinggga terjadi penumpukan sampah styrofoam di lingkungan. Bila dibiarkan menumpuk tanpa mendapatkan penanganan khusus dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan, karena plastik styrofoam sulit didaur ulang dan tidak dapat terurai oleh mikroorganisme di alam.
Untuk mendapatkan bahan polimer yang dapat terbiodegradasi, perlu dilakukan modifikasi pada komponen dasar penyusun plastik styrofoam yaitu polistiren, baik melalui pembentukan poliblendnya atau pembentukan kopolimernya dengan polimer yang dapat terdegradasi di alam seperti amilosa.Umumnya polimer yang dapat terbiodegradasi di alam mempunyai struktur rantai heteroatom yang bersifat polar seperti amilosa dan polyester. Agar polistiren dapat membentuk poliblend/kopolimer yang homogen dan kompatibel dengan amilosa, polistiren perlu dimodifikasi melalui sulfonasi menggunakan reagen asetil sulfonat sehingga menghasilkan polistiren tersulfonasi (PSS).
Amilosa dapat diperoleh dari pati ubikayu dengan cara mengekstraksi menggunakan metanol 80 % (v/v) dan dilanjutkan dengan pemisahan amilosa dan amilopektin melalui pengendapan dengan air. Polistiren tersulfonasi dengan amilosa dicampur membentuk poliblend dengan penambahan 0,04 % gliserol sebagai plastisizer, karena tanpa penambahan gliserol poliblend PSS/amilosa
sukar membentuk membran atau film tipis. Poliblend dibuat dalam berbagai komposisi PSS/amilosa (100/0, 90/10, 80/20, 70/30, 60/40, 50/50) (w/w). Setiap poliblend dibuat dengan cara casting larutan polimer menggunakan campuran pelarut toluen dan n-butanol dengan komposisi 7/3 (v/v) dan 1 mL gliserol sebagai plasticizer. Dalam pembuatan poliblend, PSS dilarutkan dalam pelarut toluen, amilosa dilarutkan dalam pelarut n-butanol, dan dalam campuran ditambahkan 1 mL gliserol. Larutan polimer dicetak dalam cawan petri dan pelarutnya dibiarkan menguap sampai membentuk membran. Membran poliblend dikarakterisasi melalui analisis gugus fungsi dengan FTIR (Fourier Transform Infra Red), sifat mekanik dengan Autograph, Sifat termal dengan TGA (Thermal Gravimetric Analysis), morfologi permukaan dengan SEM (Scanning Electron Microscopy) dan XRD (X-Ray Diffraction), serta analisis biodegradabilitas melalui test biodegradasi dengan lumpur aktif.
Hasil FTIR memperlihatkan adanya puncak-puncak serapan gugus fungsi masing- masing komponen dalam poliblend, yang menandakan terjadinya pencampuran
secara fisik antara kedua polimer. Poliblend yang terbentuk antara PSS/amilosa lebih homogen dibandingkan dengan poliblend PS/amilosa, karena adanya gugus sulfonat yang bersifat polar pada PSS dapat berinteraksi lebih baik dengan gugus polar dari amilosa. Bertambahnya komposisi amilosa dalam poliblend PSS/amilosa dapat meningkatkan kekuatan tarik, kekakuan, sifat termal dan kristalinitas poliblend. Hasil tersebut disebabkan karena amilosa bersifat kristalin, sedangkan PSS cenderung bersifat amorf. Hasil analisis menggunakan SEM menunjukkan bahwa poliblend dengan komposisi PSS/amilosa (80/20) memiliki pori-pori permukaan lebih teratur dan lebih kompak jika dibandingkan dengan poliblend dengan komposisi PSS/amilosa (50/50). Dari hasil analisis permukaan dengan SEM memperlihatkan bahwa selama proses biodegradasi poliblend
dengan komposisi PSS/amilosa (50/50) mengalami kerusakan lebih tinggi, terlihat adanya rongga-rongga yang lebih besar jika dibandingkan poliblend dengan komposisi PSS/amilosa (80/20). Hasil ini menunjukkan bakteri mampu mendegradasi bagian amilosa dari poliblend. Hilangnya komponen amilosa menyebabkan membran bersifat rapuh dan kaku sehingga kerusakan lebih lanjut dapat terjadi dengan mudah. Dilihat dari berbagai hasil analisis, membran poliblend dengan komposisi PSS/amilosa (80/20) memiliki karakteristik bahan plastik lebih baik dibandingkan poliblend dengan komposisi lainnya. Selain itu, persentase kehilangan massa teramati paling tinggi selama 40 hari inkubasi
Perpustakaan Digital ITB