digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Resistensi bakteri terhadap antibiotik mencapai titik kritis di seluruh dunia dan diprediksikan angka kematian akibat resistensi bakteri akan meningkat pada tahuntahun mendatang. Escherichia coli dilaporkan sebagai bakteri penginfeksi tertinggi dengan tingkat resistensi tertinggi terhadap sejumlah antibiotik sehingga berdampak pada peningkatan morbiditas, mortalitas serta biaya pengobatan. Seftriakson merupakan antibiotik yang paling banyak diresepkan pada pasien yang terinfeksi E. coli baik sebagai terapi empirik maupun definitif. Penelitian ini dilakukan dalam rangka mendukung program yang dicanangkan oleh World Health Organization terkait pengendalian resistensi terhadap antibiotik yaitu dengan melakukan pemetaan pola resistensi bakteri secara berkala serta melakukan pemeriksaan pada tingkat gen untuk mengidentifikasi penyebab resistensi bakteri. Gen blaSHV, blaCTX-M, blaTEM, dan blaCMY merupakan gen yang paling banyak ditemukan pada pasien yang terinfeksi E. coli dari beberapa negara sehingga deteksi awal keempat gen tersebut merupakan langkah penting dalam mengendalikan infeksi, mencegah penyebaran dan pemilihan terapi antibiotik yang tepat. Rangkaian tahap penelitian ini diawali dengan melakukan studi pendahuluan yang dilakukan pada lima rumah sakit untuk memetakan jenis bakteri resisten tertinggi yang menginfeksi pasien dan pola penggunaan antibiotik oleh pasien tersebut selama tahun 2012. Selanjutnya terpilih tiga rumah sakit berdasarkan pola bakteri dan pola penggunaan antibiotik yang mirip. Tiga rumah sakit tersebut menjadi fokus pada tahap kedua penelitian ini. Pada tahap kedua dilakukan pengumpulan data pola resistensi bakteri terhadap jenis antibiotik paling banyak dikonsumsi yang diperoleh dari tahap satu yaitu seftriakson, pengumpulan data demografi pasien dan data penggunaan antibiotik pada pasien yang terinfeksi bakteri resisten terhadap seftriakson secara retrospektif (2012) dan konkuren (2013) pada tiga rumah sakit. Tahap ketiga adalah mendeteksi keberadaan dan persebaran gen beta laktamase yang menjadi mekanisme utama resistensi terhadap antibiotik beta laktam. Gen yang ingin dideteksi yaitu blaSHV, blaCTX-M, blaTEM, dan blaCMY. Isolat yang digunakan berasal dari berbagai spesimen biologis pasien yaitu urin, feses, darah, sputum dan cairan tubuh lainnya. Jumlah isolat ditentukan berdasarkan rumus Slovin. Deteksi gen diawali dengan penyiapan isolat dalam media selektif yang mengandung seftriakson. Selanjutnya dilakukan skrining awal beta laktamase menggunakan stik nitrosefin. Isolat dengan nitrosefin positif diamplifikasi ii menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR). Sebelum memulai PCR, dilakukan beberapa tahap persiapan yaitu mendesain primer serta melakukan optimasi suhu penempelan primer. PCR dilakukan menggunakan suhu penempelan optimum untuk masing-masing primer. Untuk memastikan produk PCR, dilakukan konfirmasi menggunakan dua isolat untuk tiap gen dengan menentukan urutan nukleotidanya dengan alat penentuan urutan nukleotida otomatis. Setelah terkonfirmasi, dilanjutkan PCR untuk semua isolat yang diperoleh. Berdasarkan studi pendahuluan, E. coli merupakan bakteri penginfeksi yang dominan ditemukan dari tiga rumah sakit terpilih dengan prevalensi resisten tertinggi terhadap seftriakson sebesar 24-39% pada tahun 2012 dan sebesar 27- 38% pada tahun 2013. Spesimen pasien yang terinfeksi E. coli bervariasi dari tiga rumah sakit yaitu masing-masing terbanyak pada spesimen urin, sputum dan feses. Antibiotik yang paling banyak digunakan oleh pasien yang terinfeksi E. coli resisten seftriakson adalah golongan sefalosporin yaitu sebesar 40-42% tahun 2012 dan 2013 yang diperoleh dari dua rumah sakit. Seftriakson merupakan jenis sefalosporin yang paling banyak diresepkan dan digunakan yaitu sebesar 25-27% tahun 2012 dan 17-44% tahun 2013. Profil demografi pasien yang terinfeksi E. coli dari dua rumah sakit menunjukkan bahwa E. coli dapat menginfeksi pasien perempuan dan laki-laki dewasa dengan lama rawat terbanyak yaitu selama 4-9 hari, sedangkan luaran klinis terbanyak adalah dengan status perbaikan (69-90%). Tidak diperoleh data penggunaan serta profil demografi pasien pada salah satu rumah sakit karena keterbatasan untuk mengakses rekam medis. Berdasarkan rumus Slovin diperoleh 246 isolat sebagai jumlah sampel minimal yang digunakan pada tahap ketiga penelitian. Sebanyak 214 dari 246 isolat pasien yang terinfeksi E. coli resisten seftriakson dinyatakan positif memproduksi beta laktamase yang selanjutnya dilakukan amplifikasi menggunakan PCR untuk mendeteksi gen blaSHV, blaCTX-M, blaTEM, dan blaCMY. Hasil konfirmasi produk PCR terhadap dua isolat untuk tiap gen menunjukkan kesamaan >94% terhadap masing-masing gen beta laktamase (bla) tersebut. Sebanyak 95 dari 214 isolat yang diamplifikasi terdeteksi gen beta laktamase baik secara tunggal maupun simultan dalam satu isolat. Dari 95 isolat yang terdeteksi, 91 isolat diantaranya ditemukan dari satu rumah sakit yaitu rumah sakit A sehingga rumah sakit A berkontribusi utama dalam penelitian deteksi gen bla ini. Adapun rincian gen bla yang terdeteksi yaitu blaSHV sebanyak 2 isolat (2,1%); blaCTX-M sebanyak 66 isolat (69,5%); blaTEM sebanyak 1 isolat (1,1%); blaCMY sebanyak 6 isolat (6,3%); blaSHV dan blaCTX-M ditemukan pada 3 isolat (3,2%); blaCTX-M dan blaTEM ditemukan pada 7 isolat (7,4%); blaCTX-M dan blaCMY ditemukan pada 6 isolat (6,3%); blaTEM dan blaCMY ditemukan pada 1 isolat (1,1%); blaSHV, blaCTX-M, dan blaTEM ditemukan pada 1 isolat, dan blaCTX-M; blaTEM dan blaCMY ditemukan pada 2 isolat (2,1%). Hal ini mengindikasikan bahwa pada penelitian ini ditemukan 95 dari 214 E. coli yang resisten terhadap seftriakson mengandung gen penyandi beta laktamase dengan jenis terbanyak adalah gen blaCTX-M secara keseluruhan sebanyak 85 isolat dengan rincian secara tunggal sebanyak 66 isolat (69,5%) dan secara secara simultan dengan bla yang lain sebanyak 19 isolat (16,8%).