digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Tumbuhan genus Morus (Moraceae) merupakan kelompok tumbuhan yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi dalam industri sutra dan telah dikenal sejak lama sebagai obat tradisional. Kajian fitokimia memperlihatkan bahwa kelompok tumbuhan ini potensial sebagai sumber metabolit sekunder yang memiliki bioaktivitas yang penting. Walaupun demikian, tumbuhan bukanlah satu-satunya sumber penghasil metabolit sekunder, sebagai alternatif adalah kultur jaringan dan juga mikroorganisme endofitik. Penelitian fungi endofitik tumbuhan Morus telah dilaporkan sebelumnya dari Morus alba. Penelitian tersebut telah berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi 106 isolat fungi endofitik dari berbagai jaringan M. alba (akar, daun, dan batang) dan juga telah diujikan terhadap fungi patogen. Namun, belum ada laporan berkaitan dengan kajian metabolit sekunder dari fungi endofitik tersebut. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan isolasi dan karakterisasi metabolit sekunder dari fungi endofitik pada dua spesies Morus Indonesia (Morus cathayana dan M. macroura), serta melakukan uji bioaktivitasnya terhadap sel murin leukemia P-388 dan sel kanker paru-paru A-549. Isolasi fungi endofitik dilakukan dengan metoda kultur axenik hingga diperoleh isolat tunggal dan dilanjutkan dengan identifikasi isolat tersebut berdasarkan molekuler sekuen ITS rDNA. Isolat fungi selanjutnya dibiakan dalam media cair selama 14 hari (28 oC). Media cair hasil biakan dipartisi dengan EtOAc pada suhu kamar, sedangkan bagian miselia diekstraksi dengan MeOH. Pemurnian metabolit sekunder dilakukan dengan berbagai metoda kromatografi, yang meliputi kromatografi vakum cair, kromatografi kolom gravitasi dan kromatografi radial. Struktur senyawa hasil isolasi ditetapkan berdasarkan data spektroskopi meliputi 1D-NMR (1H, 13C, TOCSY1D) dan 2D-NMR (HSQC, HMBC, COSY dan NOESY), spektrum massa resolusi tinggi, dan kristalografi sinar-X. Sifat sitotoksik dilakukan terhadap dua sel kanker yaitu sel murin leukemia P-388 dan sel kanker paru-paru A-549 dengan metoda MTT, dengan aktivitas dinyatakan dalam konsentrasi daya hambat pertumbuhan 50% atau IC50. Pada penelitian ini untuk pertamakalinya telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi tiga isolat fungi endofitik, yaitu Talaromyces wortmanii dan Phomopsis sp. dari ranting dan akar M. cathayana, dan Xylaria sp. dari ranting M. macroura. Delapan belas senyawa telah berhasil diperoleh dari tiga fungi endofitik tersebut, empat di antaranya adalah senyawa baru. Dari delapanbelas senyawa tersebut, delapan senyawa berasal dari fungi endofitik Phomopsis sp, dua senyawa berasal dari Talaromyces wortmanii dan delapan senyawa berasal dari Xylaria sp. Delapan senyawa yang diperoleh dari ekstrak EtOAc Phomopsis sp. terdiri dari tiga senyawa baru turunan naftokuinon (epoksikuinofomopsin (1), epoksikuinofomopsin A (2), dan epoksikuinofomopsin B (3)), satu senyawa baru turunan seskuiterpen presilfiperfolan (presilfiperfolan-1,12-diol (4)), satu turunan benzokuinon (2-hidroksi-5-metoksi-3-metilsikloheksa-2,5-dien-1,4-dion (5)), satu turunan ftalida (5,7-dimetoksi-3,6-dimetilftalida (6)), dan dua turunan dihidroisokumarin ((+)-melein (7) dan (-)-8-metoksimelein (8)). Sementara itu, delapan senyawa lain telah berhasil diisolasi dari ekstrak EtOAc Xylaria sp. yang terdiri dari lima turunan sitokalasan (sitokalasin Q (9), 19,20-epoksisitokalasin Q (10), 18-deoksi-19,20-epoksisitokalasin Q (11), 19,20-epoksisitokalasin C (12), dan 19,20-epoksisitokalasin D (13)), serta tiga turunan seskuiterpen eremofilan (faseolinon (14), fomenon (15), dan faseolinon tetrol (16)). Selain itu, dua senyawa telah diperoleh dari ekstrak MeOH T. wortmanii yaitu satu senyawa turunan biantrakuinon (skirin (17)) dan satu senyawa turunan azafilonoid (wortmin (18)). Penentuan sifat sitotoksik ekstrak dan senyawa hasil isolasi terhadap sel P-388 menunjukkan bahwa ekstrak EtOAc dari kultur Xylaria sp., Phomopsis sp. dan T. wortmanii memperlihatkan nilai IC50 berturut-turut 0,14; 8,67 ?g/mL (aktif) dan 62,36 ?g/mL (tidak aktif), sedangkan untuk ekstrak MeOH Xylaria sp. menunjukkan IC50 0,34 ?g/mL (aktif). Semua senyawa yang diujikan terhadap sel P-388 bersifat aktif, kecuali senyawa 8, 17 dan 18. Sejalan dengan aktivitas ekstraknya, maka dua naftokuinon (2 dan 3), satu turunan presilfiperfolan (4), satu turunan benzokuinon dan satu turunan ftalida (5 dan 6) dari Phomopsis sp., lima senyawa turunan sitokalasan (9-13) dan tiga turunan eremofilan (14-16) dari Xylaria sp. bersifat sangat aktif. Bahkan, senyawa 10, 12 dan 13 memiliki IC50 0,10 ?g/mL (IC50 < 0,19 ?M). Sebaliknya, turunan biantrakuinon dan turunan azafilonoid (17 dan 18) dari ekstrak MeOH T. wortmanii bersifat tidak aktif (IC50 > 50 ?g/mL (IC50 > 50 ?M). Analisis hubungan struktur dan aktivitas menunjukkan bahwa adanya gugus hidroksi pada C-18 serta gugus epoksi pada C-19 dan C-20 pada senyawa turunan sitokalasan (9-13) memiliki peran yang penting dalam peningkatan sifat sitotoksik. Sementara itu, pada turunan seskuiterpen (14-16), dengan tidak adanya alkena terminal pada C-11 dan C-13 pada senyawa 14 dan 16 dapat terjadi peningkatan aktivitas. Hasil uji sitotoksik terhadap sel kanker paru-paru A-549 juga menunjukkan bahwa semua senyawa yang diuji bersifat aktif. Dua senyawa baru (2 dan 3) memiliki IC50 secara berturut-turut 12,1 dan 6,8 ?M, sehingga disarankan bahwa dengan adanya gugus hidroksi di C-1 dapat meningkatkan aktivitas senyawa 3. Selain itu, lima senyawa turunan sitokalasan bersifat sangat aktif dengan nilai IC50 0,32 – 3,15 ?M. Di antara semua turunan sitokalasan, senyawa 10 dan 12 adalah senyawa yang paling aktif. Aktivitas dari turunan sitokalasan ini dapat disebabkan oleh adanya ikatan rangkap pada C-5 dan C-6, gugus hidroksi pada C-18 dan gugus epoksi pada C-19 dan C-20. Senyawa 15 lebih aktif dari senyawa 14, karena senyawa 15 memiliki alkena terminal pada C-11 dan C-13. Berdasarkan penelitian ini, metabolit sekunder yang diproduksi oleh ketiga fungi endofitik berbeda dengan yang dihasilkan oleh tumbuhan inangnya (M. cathayana dan M. macroura). Metabolit sekunder yang dilaporkan dari Morus umumnya turunan stilben, flavonoid, 2-arilbenzofuran, santon, kumarin dan adduct Diels Alder. Sementara itu, ternyata dari fungi endofitiknya metabolit sekunder yang dihasilkan didominasi oleh turunan terpenoid, kuinon, dan sitokalasan. Oleh karena itu, penemuan senyawa-senyawa ini dapat memperkaya fitokimia dari fungi endofitik dari tumbuhan Morus Indonesia.