digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Kebutuhan produk biomaterial, khususnya yang terkait perbaikan/penggantian jaringan tulang yang rusak/cacat, meningkat setiap tahun. Penggunaan metode grafting yang jaringannya bersumber dari diri sendiri (autograft) dan dari pendonor (allograft) terkendala oleh berbagai hal seperti ketersediaan donor, risiko terjadinya penolakan oleh tubuh dan perpindahan penyakit, sakit dan trauma pasca operasi, hingga biaya yang sangat mahal. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, berbagai penelitian ilmiah dalam bidang rekayasa jaringan terus menerus dilakukan dengan tujuan untuk mengembangkan material pengganti buatan yang tepat untuk meregenerasi jaringan tulang atau jaringan lainnya, salah satunya adalah dengan metode biomimetik, yaitu suatu metode yang terinspirasi dari proses dan desain alami. Pada penelitian ini, biopolimer dan karbonat apatit disintesis dengan metode biomimetik untuk aplikasinya sebagai scaffold tulang. Biopolimer yang digunakan adalah alginat dan kitosan yang masing-masing diekstrak dari alga coklat dan cangkang hewan krustasea. Biopolimer tersebut digunakan karena biokompatibilitas dan biodegradibilitasnya yang sangat baik saat diaplikasikan dalam sistem biologi serta ketersediaannya yang melimpah di alam. Karbonat apatit adalah komponen anorganik yang menyerupai apatit tulang dengan osteokonduktivitas dan laju resorpsi yang tinggi. Karbonat apatit dipreparasi melalui metode sol-gel dan ko-presipitasi serta dipertahankan pada struktur amorf. Material biokomposit dibuat dengan mencampurkan alginat, kitosan, dan karbonatapatit dengan variasi komposisi tertentu. Metode-metode yang digunakan untuk menghasilkan pori pada Scaffold adalah menggunakan template membran kulit telur, electrospinning, dan freeze drying. Dengan cara ini, akan dihasilkan pori yang menyerupai bentuk lingkungan mikro dari sel tulang sehingga dapat meningkatkan interaksi antarmuka. Beberapa metode karakterisasi yang digunakan pada penelitian ini adalah Scanning Electron Microscopy (SEM), X-ray Diffractometry (XRD), Energy Dispersive X-ray Spectroscopy (EDS), Fourier Transform Infra Red (FTIR) Spectroscopy, Brunauer-Emmet-Teller (BET) Characterization, Tensile dan Compressive Strength Test, serta pengujian viabilitas Mesenchymal stem cells dengan metode MTT assay. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: (i) Scaffold berbasis alginat, kitosan, dan karbonatapatit dengan pori terbuka dan terinterkoneksi telah berhasil disintesis menggunakan template membran kulit telur, electrospinning, dan freeze drying. Diameter serat pada scaffold A dan B masing-masing adalah sekitar 1 – 7 Ξm dan 0,1 – 1 Ξm dengan ruang-ruang yang terbentuk di antara serat-serat tersebut dapat dianggap sebagai pori dengan diameter pori masing-masing sekitar 1 – 25 Ξm dan 1 – 10 Ξm. Sedangkan scaffold C memiliki diameter pori sekitar 50 – 300 Ξm. Karakterisasi dengan EDS-mapping menunjukkan bahwa karbonat apatit telah terdistribusi merata pada permukaan scaffold. Keberadaan karbonat apatit pada scaffold ditunjukkan oleh hasil FTIR yang ditandai dengan adanya gugus fungsi fosfat dan karbonat, (ii) Kekuatan tarik scaffold A dan B masing-masing adalah sekitar 5,17 – 6,74 MPa dan 0,90 – 2,76 MPa sedangkan kekuatan tekan scaffold C sekitar 2,33 – 2,39 MPa. Ketiga angka tersebut berada pada rentang nilai kekuatan tarik dan tekan dari cancellous bone yaitu masing-masing sebesar 0,1 – 20 MPa dan 2 – 12 MPa, (iii) Pengujian viabilitas Mesenchymal stem cells akibat pengaruh pemaparan larutan ekstrak scaffold dengan metode MTT (3-(4,5-dimethyl thiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide) menunjukkan bahwa larutan ekstrak scaffold A, B, dan C yang dipapar pada konsentrasi 0,01 – 100% mempengaruhi viabilitas Mesenchymal stem cells. Scaffold B bersifat paling menghambat pertumbuhan Mesenchymal stem cells, disusul oleh scaffold A dan C, dan (iv) Ditinjau dari beberapa aspek yang meliputi metode pemrosesan, ukuran pori, kekuatan tarik atau tekan, dan viabilitas Mesenchymal stem cells akibat pengaruh pemaparan larutan ekstrak scaffold, scaffold C dinilai memiliki karakteristik yang paling optimum, lalu disusul oleh scaffold A dan B. Beberapa saran yang dapat diajukan terkait penelitian yang telah dilaksanakan ini adalah perlu dilakukan pengujian in vitro lanjutan lainnya seperti proliferasi dan diferensiasi sel serta secara in vivo untuk mengetahui sifat-sifat yang terkait dengan interaksi scaffold yang dihasilkan terhadap hewan percobaan sebelum pada akhirnya diaplikasikan secara klinik pada manusia.