digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Pembentukan hidrokarbon pada cekungan belakang busur dipengaruhi oleh sejarah pembentukan cekungan itu sendiri. Pada umumnya pada cekungan belakang busur terbentuk akibat adanya mekanisme rifting yang menyebabkan terjadinya penipisan kerak. Penipisan kerak ini akan berakibat memperpendek jarak antara cekungan sedimen dengan mantel sebagai sumber panas, sehingga terjadi kenaikan panas didalam cekungan sedimen. Fasa pembentukan rifting biasanya diikuti oleh fasa sag yaitu fasa relaksasi setelah berhenti fasa rifting.Cekungan belakang busur Tersier Sumatra Selatan adalah salah satu cekungan belakang busur di Indonesia bagian barat yang dimasukkan kedalam kategori cekungan panas (hot basin) dikarenakan memiliki nilai gradien geotermal jauh di atas rata-rata cekungan serupa di dunia dengan nilai alir bahang rata-rata berkisar antara 40-60 mWm-2, sedangkan cekungan Sumatra Selatan memiliki nilai alir bahang rata-rata 107.95 mWm-2.Sejarah pembentukan cekungan belakang busur Sumatra Selatan diawali dengan terjadinya rifting pada Umur Oligosen Akhir (30-25 jt. th.) yang mengaktifkan sesar-sesar tua pada batuan dasar sehingga terdapat tiga pola umum sub-cekungan pada cekungan belakang busur Sumatra Selatan, yaitu pola Jambi dengan arah umum U30 derajat T-U50 derajat T sebagai pola dominan di Cekungan Sumatra Selatan. Pola kedua adalah pola Sunda dengan arah umum U350 derajat T-U15 derajat T, dan pola ketiga adalah pola Sumatra dengan arah umum U285 derajat T-U330 derajat T. Pada fasa rifting diendapkan Kelompok Batuan Lahat diatas batuan dasar pra-Tersier dan endapan volkanik Formasi Kikim. Fasa rifting ini diikuti oleh fasa sag pada awal Miosen Awal yang meberikan endapan sedimen Formasi Talangakar hingga Formasi Gumai, Sejak Miosen Tengah terjadi rezim kompresi yang diperlihatkan dengan pembentukan pegunungan Bukitbarisan dan mencapai puncaknya pada umur Plio-Pleistosen. Sejak Miosen tengah hingga masa kini diendapkan Formasi Air Benakat hingga Formasi Kasai dengan ciri kehadiran material volkanik.Usaha untuk mendapatkan sejarah perkembangan temperatur dilakukan dengan cara pemodelan gravitasi dan pemodelan termal untuk mendapatkan pendugaan kedalaman bidang moho masa kini. Pemodelan sejarah pemendaman 1D menggunakan dasar prinsip isostasi Airy dan rekonstruksi penampang seismik untuk mendapatkan faktor penipisan kerak (β-factor) dan pemodelan sejarah termal digunakan untuk melakukan rekonstruksi perkembangan kedalaman bidang moho terhadap waktu. Dengan merubah data sejarah temperatur terhadap waktu menjadi sejarah kematangan hidrokarbon terhadap waktu maka sejarah temperatur dapat divalidasi menggunakan nilai pantulan vitrinit sebagai indikator kematangan hidrokarbon. Nilai pantulan vitrinit pada Cekungan Sumatra Selatan umumnya berasal dari kerogen tipe II dan mengalami supresi, sehingga sebelum dapat digunakan sebagai validator perlu dilakukan koreksi agar didapatkan nilai pantulan vitrinit yang sebenarnya.Pemodelan termal dan gravitasi mengindikasikan kedalaman rata-rata bidang moho masa kini berada pada kedalaman 15.6 km. Dari pemodelan gravitasi mengindikasikan terdapat tubuh intrusi, tubuh intrusi tersebut menembus batuan sedimen pada Kompleks Cekungan Jambi berupa sill pada sumur Tempino-176. Akibat dangkalnya kedalaman bidang moho diperlihatkan dengan nilai alir bahang permukaan masa kini yang tinggi dengan nilai rata-rata 88.48 mili W/m2. Dari Pemodelan termal dan sejarah pemendaman 1D dan rekonstruksi penampang mendapatkan bahwa kedalaman bidang moho sudah dangkal sejak awal pembentukan cekungan, kedalaman bidang moho berkisar antara 15.6-19.5 km.Hasil pemodelan alir bahang mengindikasikan adanya kenaikan nilai alir bahang pada umur 15-5 jt. th. dengan nilai rata-rata alir bahang sebesar 116.56 mili W/m2. Kenaikan alir bahang ini secara regional berkecocokan dengan pembentukan jalur volkanik Bukit Barisan.Berdasarkan hasil kalibrasi menggunakan nilai pantulan vitrinit maka model perkembangan pemanasan cekungan atau alir bahang tidak konstan terhadap waktu, melainkan akan menaik pada fasa rift kemudian menurun dan akan menaik lagi pada masa kini, implikasinya bila digunakan alir bahang konstan dari data alir bahang masa kini dalam memodelkan kematangan hidrokarbon pada umumnya akan menghasilkan nilai yang terlalu tinggi.Cekungan Pola Sumatra memiliki tingkat kematangan tertinggi dibandingkan kedua pola yang lain, awal kematangan minyak (Early Mature Oil Generation setara dengan 0.60%Ro) dicapai pada umur 25.2 jt. th. lalu dan akhir dari pembentukan gas (End Gas Generation setara dengan 2.05%Ro), kedalaman Top Oil Window dicapai pada kedalaman 1.433 km.