digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK_Shobrina A'yuni
Terbatas  Perpustakaan Prodi Arsitektur
» Gedung UPT Perpustakaan

Panti asuhan dan panti jompo merupakan lembaga sosial yang berperan dalam memberikan tempat tinggal, perawatan, dan perlindungan bagi dua kelompok rentan pada masyarakat. Dua kelompok tersebut meliputi anak-anak dan lansia yang telah berpisah tinggal dengan keluarganya, baik karena ditinggalkan, maupun terdapat permasalahan yang terjadi sehingga mengharuskan mereka untuk mendapatkan perawatan khusus di kedua panti tersebut. Berpisah tinggal dengan keluarga dapat menyebabkan beberapa perbedaan yang terjadi pada kehidupan mereka. Bagi anak, menjalani masa perkembangan dalam hidup tanpa didampingi oleh orang tua mereka akan menjadi fase yang sulit. Pada masa ini, bukan hanya kondisi dari tubuh mereka yang berubah, tetapi kondisi dari psikologis mereka juga akan mengalami perubahan. Berbagai perubahan ini dapat memengaruhi perilaku dan tabiat mereka terhadap proses berkembangnya dalam lingkungan sosial. Begitu juga yang terjadi pada para lansia, pada masa yang rentan ini, banyak terjadi perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Selain mengalami perubahan fisik yang berkaitan dengan penuaan, lansia akan mendapati penurunan pada kemampuan psikologis. Seiring bertambahnya usia pada lansia, mereka juga akan mengalami penurunan daya ingat sehingga akan lebih bergantung pada orang-orang yang ada di sekitarnya, terutama kepada orang-orang yang lebih muda dari usianya. Maka dari itu, dalam upaya merespon beberapa masalah yang terjadi pada dua lembaga sosial ini, peran arsitektur yang dapat diimplementasikan adalah pengintegrasian panti asuhan dan panti jompo dalam bentuk sharing community antargenerasi. Kondisi kedua generasi dalam kedua lembaga sosial ini sekiranya dinilai saling membutuhkan dan saling menguntungkan jika diintegrasikan dalam satu wadah yang sama. Pengintegrasian ini bukan hanya menciptakan suatu interaksi antara keduanya, tetapi juga dapat memembentuk relasi antara kedua generasi. Hubungan relasi ini akan terjadi karena mereka akan terjadi interaksi timbal balik antarindividunya yang dapat menciptakan rasa saling pengertian, keakraban, dan kekeluargaan. Sharing community antargenerasi ini diharapkan memberi manfaat sosial dan emosional yang signifikan pada kedua kelompok tersebut. Dengan menghadirkan wadah untuk berinteraksi di antara kedua lembaga sosial ini, manfaat dari kegiatan antargenerasi ini bisa memperbaiki masalah yang kerap terjadi dalam kedua generasi ini. Kemudian, pengintegrasian kedua panti ini juga bisa menciptakan penggunaan yang lebih efisien dari fasilitas dan sumber daya yang dibutuhkan, seperti fasilitas fisik, staf, dana, dan penggunaan lahan. Namun, pada penggabungan kedua generasi ini, terdapat tantangan yang akan terjadi. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kemampuan dan kebutuhan kedua generasi sehingga penggabungan keduanya memerlukan solusi untuk hal ini. Menurut Jaqueline Wendland (2023), tantangan yang harus diselesaikan terdapat pada perencanaan yang tepaat dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan masing-masing generasi. Kemudian, diperlukan juga pemberian pelatihan kepada staff yang memadai sebagai unsur penunjang bagi kedua generasi. Jika tantangan ini tidak berhasil diselesaikan, maka dapat menimbulkan frustasi pada kedua generasi dan memperkuat stereotip negative antargenerasi. Terdapat tiga solusi yang ditawarkan dalam proyek ini, yaitu pemisahan antara hunian anak dan lansia, penyatuan beberapa fungsi ruang yang bisa digunakan anak dan lansia, serta penyediaan fasilitas penunjang sebagai penghadiran fungsi pengelolaan pada sistem kegiatan dalam bangunan. Kemudian, muncullah tiga persoalan perancangan, yaitu arsitektur well-being bagi anak, arsitektur well-being bagi lansia, dan integrasi antara komunitas antar generasi. Pada persoalan pertama dan kedua akan dilandasi oleh teori “Psychological Well-being” oleh Ryff (1989) dan teori “Intergenerational Theory in a Community Context” oleh Jianbin Wu (2023) untuk persoalan yang ketiga. Dari kedua teori tersebut, akan muncul kriteria perancangan yang harus dipenuhi dalam bangunan. Kriteria-kriteria tersebut akan dirumuskan dalam bentuk ide-ide alternatif dalam desain. Lokasi tapak bangunan dipilih sesuai dengan kriteria yang harus ada pada kedua panti ini. Untuk kebutuhan pada anak, diharuskan untuk memiliki jarak yang dekat dengan fasilitas pendidikan. Kemudian, untuk kebutuhan dari lansia, diharuskan juga untuk memiliki jarak yang dekat dengan fasilitas kesehatan. Dari segi aksesibilitas, tapak bisa dengan mudah dijangkau oleh kendaraan beroda dua atau lebih dan juga tapak dilewati dengan rute angkutan umum yang ada. Kondisi tapak juga sudah dilengkapi dengan berbagai vegetasi alami sehingga menjadi pendukung bagi kualitas tapak.