digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK_Fayola Tabina Arby
Terbatas  Perpustakaan Prodi Arsitektur
» Gedung UPT Perpustakaan

Ring of Fire atau cincin api pasifik adalah zona tektonik berbentuk tapal kuda yang mencakup 75% gunung berapi aktif dan 90% rawan gempa bumi, membentang sepanjang 40.000 kilometer mengelilingi tepi Samudra Pasifik. Gunung berapi merupakan celah di kerak bumi yang memungkinkan keluarnya magma, gas, dan cairan lainnya ke permukaan. Salah satu dampak utama dari aktivitas gunung berapi ini adalah erupsi, yang dapat menyebabkan bencana alam signifikan. Erupsi gunung berapi merupakan salah satu ancaman terbesar bagi populasi yang tinggal di wilayah sekitar, menimbulkan risiko kerusakan lingkungan dan kehidupan. Indonesia merupakan salah satu negara yang dilewati oleh ring of fire menjadikan Indonesia rumah dari 127 gunung api aktif dan 70 diantaranya dipantau secara menerus oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) karena dikategorikan ke dalam gunung api sangat aktif dan berisiko tinggi, serta 16 gunung api yang berada dalam level II atau waspada, salah satunya Gunung Merapi. Gunung Merapi merupakan gunung yang menunjukkan gejala vulkanisme paling aktif di Indonesia dengan periode letusan yang relatif cepat yaitu sekitar 2-7 tahun sekali. Letusan Gunung Merapi membawa dampak bagi masyarakat sekitarnya baik secara positif maupun negatif. Salah satu dampak negatifnya adalah letusan gunung tersebut yang menyebabkan kerusakan besar dan menimbulkan korban jiwa sehingga diperlukannya mitigasi bencana untuk mengurangi dampak dari letusan Gunung Merapi. Penyediaan hunian sementara dari pemerintah bagi korban terdampak letusan Gunung Merapi seringkali menunjukkan bahwa solusi darurat sering kali tidak memadai dan justru dapat memperburuk kondisi masyarakat. Bangunan sementara yang hanya berupa tenda panjang tanpa struktur kokoh tidak memberikan perlindungan yang layak dan berisiko roboh akibat bencana susulan, seperti hujan deras atau gempa, yang dapat memicu bencana lanjutan seperti banjir. Dengan begitu, relokasi permanen menjadi salah satu upaya yang efektif dan berkelanjutan dalam memberikan masyarakat penanganan sekaligus kehidupan yang lebih layak. Relokasi memungkinkan pembangunan permukiman yang lebih aman dengan infrastruktur yang memadai. Relokasi juga mengurangi risiko berulangnya dampak bencana di masa depan, memberikan masyarakat kepastian tempat tinggal yang lebih stabil. Perancangan hunian dibuat adaptif agar dapat langsung mengakomodasi masyarakat saat terjadi bencana hingga bertahun-tahun pasca bencana. Hal ini dapat dicapai dengan pendekatan arsitektur modular dimana hunian sudah dirancang dalam bentuk modul di luar area pembangunan dimana modul-modul tersebut kemudian digabungkan menjadi sebuah hunian utuh. Modul dapat memenuhi kebutuhan sederhana saat terjadi bencana seperti air bersih, sanitasi, dan fasilitas kesehatan. Selain itu, modul dirancang dengan struktur yang mudah untuk dipahami banyak orang sehingga saat bencana terjadi, modul dapat segera dimobilisasi dan dibangun secara kolaboratif antara pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat setempat tanpa menunggu pihak dengan keahlian khusus. Sisi adaptif pada hunian adalah hunian dapat diperbesar sesuai dengan spesifikasi yang diberikan ditambah diskusi dengan pemilik guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perancangan. Selain itu, diupayakan pemberian pendidikan informal dan aktivitas tambahan berpotensi ekononomi yaitu workshop bambu. Dengan adanya workshop, masyarakat mendapatkan pendidikan dan transparasi mengenai konstruksi bambu sehingga hunian yang dirancang dapat memberikan masyarakat rasa kepemilikan yang sama seperti saat sebelum pindah. Dengan perencanaan yang tepat hunian dapat menjadi fondasi bagi pemulihan dan pembangunan kembali komunitas yang lebih tangguh pasca bencana. Hal ini tentunya perlu dibarengi dengan perencanaan area untuk masyarakat melanjutkan hidup sosial seperti balai desa.