digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Batubara merupakan sumber energi utama dalam sistem ketenagalistrikan di Indonesia, yang digunakan sebagai bahan bakar dalam operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Meskipun inisiatif energi terbarukan telah berkembang, ketergantungan terhadap batubara belum dapat dihindari dalam waktu dekat. Tingginya ketergantungan ini menuntut adanya sistem logistik yang efisien dan andal untuk menjamin kelancaran pasokan ke PLTU di berbagai wilayah. Proses distribusi batubara menghadapi berbagai tantangan, mulai dari keterbatasan infrastruktur transportasi hingga ketidaksesuaian nilai kalor atau Gross Calorific Value (GCV) antara batubara yang tersedia dengan kebutuhan PLTU. Kondisi tersebut menyebabkan inefisiensi biaya, peningkatan risiko gangguan operasional, serta menurunnya daya saing logistik energi nasional. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab tantangan tersebut dengan mengembangkan model penentuan lokasi terminal batubara yang ideal dalam jaringan rantai pasok kolaboratif antar PLTU. Terminal batubara dalam konteks ini tidak hanya berfungsi sebagai titik transit distribusi, tetapi juga sebagai pusat pencampuran batubara agar sesuai dengan spesifikasi GCV yang dibutuhkan oleh masing-masing PLTU. Karena pemilihan jenis kapal berpengaruh terhadap biaya distribusi batubara, model dirancang dengan mempertimbangkan moda transportasi laut yang beragam, seperti tongkang, handy, handymax, dan panamax, dengan tetap memperhatikan keterbatasan dermaga di masing-masing lokasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemodelan matematis berbasis Mixed Integer Linear Programming (MILP), dengan tujuan meminimalkan total biaya distribusi batubara, yang mencakup biaya pengadaan batubara dari tambang, biaya transportasi antarmoda, serta biaya pembangunan dan penanganan (handling) di terminal. Data berasal dari 43 tambang batubara, masing-masing dengan karakteristik nilai kalor dan kapasitas yang berbeda, 11 PLTU sebagai titik permintaan, serta 9 lokasi potensial untuk pembangunan terminal batubara. Pemodelan dilakukan menggunakan perangkat lunak LINGO 19.0 dan mempertimbangkan berbagai kendala, seperti kapasitas pasokan, permintaan, kesesuaian GCV, serta logika keputusan aktivasi terminal. ii Hasil optimasi menunjukkan bahwa lokasi terminal batubara paling optimal berada di Tarahan, dengan total biaya distribusi tahunan sebesar USD 2,27 miliar. Seluruh permintaan PLTU dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan kalorinya melalui kombinasi pengiriman langsung dari tambang maupun pengiriman melalui terminal batubara menggunakan kapal yang terpilih. Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, seperti Tang et al. (2016) yang hanya fokus pada dua eselon distribusi tanpa proses pencampuran batubara, serta Pratama (2016) yang belum menerapkan pendekatan kolaboratif antar PLTU, model yang dikembangkan dalam penelitian ini lebih komprehensif, karena mengintegrasikan proses pencampuran batubara, pemilihan moda transportasi laut, dan keputusan lokasi fasilitas dalam satu model optimasi. Hasil dari model ini dapat digunakan sebagai alat bantu pengambilan keputusan oleh para pemangku kepentingan dalam merancang strategi logistik batubara yang efisien. Secara akademik, penelitian ini memperkaya khazanah ilmu di bidang optimasi rantai pasok energi dan dapat menjadi referensi bagi pengembangan sistem distribusi energi berbasis kolaborasi dan strategi pencampuran batubara di masa depan.