Praktik perancangan arsitektur tidak hanya mencerminkan proses kreatif, tetapi juga berkelindan dengan dinamika kekuasaan dan struktur pengambilan keputusan. Sayembara arsitektur sering dipandang sebagai mekanisme yang paling demokratis dalam menjaring gagasan, karena membuka ruang partisipasi secara terbuka dan kompetitif. Namun, dalam konteks ruang publik yang memiliki nilai simbolik tinggi, praktik ini kerap menghadapi batasan struktural dan politis yang memengaruhi interpretasi serta hasil akhir dari desain yang diusulkan.
Penelitian ini mengkaji Sayembara Revitalisasi Monumen Nasional (2018) dengan fokus pada proses perancangan dan implementasi desain pemenang. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi bagaimana panduan desain (TOR) diterjemahkan ke dalam gagasan ruang publik, serta menelaah bagaimana desain tersebut direalisasikan dalam praktik. Pendekatan kritik arsitektur dan kerangka teori demokrasi digunakan dalam penelitian ini untuk mengeksplorasi hubungan antara mekanisme representatif dalam sayembara dengan kenyataan di lapangan yang menunjukkan keterbatasan partisipasi masyarakat secara substansial.
Temuan menunjukkan bahwa keberhasilan sebuah sayembara tidak hanya ditentukan oleh kualitas desain, tetapi juga oleh sejauh mana rancangan tersebut mampu dipertahankan dan dimaknai secara konsisten dalam proses implementasi. Dalam kasus Monas, terdapat jarak antara semangat partisipatif pada tahap awal dan praktik pembangunan yang berlangsung, yang menegaskan pentingnya keterhubungan antara desain, pengambilan keputusan, dan struktur demokrasi ruang. Arsitektur, dalam konteks ini, hadir sebagai medium dialektis antara gagasan, simbol, dan dinamika sosial-politik yang membentuk ruang publik.
Perpustakaan Digital ITB