2025 DS PP Romi Setiawan (39018009)_List of Contents
PUBLIC Open In Flipbook Abdul Aziz Ariarasa
Dalam era globalisasi yang semakin berkembang, pengelolaan keberagaman budaya dalam penyelenggaraan acara menjadi isu ilmiah dan praktis yang krusial. Acara, sebagai platform penting untuk ekspresi budaya, stimulasi ekonomi, dan keterlibatan sosial, kini menghadapi ketegangan antara format global yang terstandarisasi dan kebutuhan untuk integrasi budaya lokal yang autentik. Model pengukuran budaya yang telah ada seperti Hofstede’s Cultural Dimensions, Schwartz’s Theory of Basic Human Values, dan studi GLOBE memang memberikan wawasan penting, tetapi sering dikritik karena sifatnya yang statis dan penyederhanaannya terhadap kompleksitas budaya. Model-model tersebut dinilai belum mampu menangkap identitas budaya yang hibrid dan dinamis, yang terbentuk melalui globalisasi, kemajuan teknologi, dan intensifikasi interaksi antar budaya. Adanya kesadaran akan keterbatasan inilah yang melatarbelakangi perlunya eksplorasi kerangka baru, yaitu Cultural Social Connectedness (CSC), untuk memahami dan mengukur adaptasi budaya dalam konteks acara, khususnya dalam hubungannya dengan pengalaman acara, kepuasan peserta, dan niat untuk kembali (revisit intentions). Lebih jauh lagi, penelitian ini menekankan pentingnya membandingkan dinamika budaya regional, khususnya antara wilayah Jawa dan non-Jawa, untuk menilai bagaimana variasi budaya intra-negara membentuk efektivitas strategi pemasaran acara.
Penelitian ini bertolak dari pengamatan bahwa di negara multikultural seperti Indonesia—dengan lebih dari 1.300 kelompok etnis dan beragam karakter budaya—penyelenggaraan acara harus mampu mengelola kompleksitas budaya secara strategis. Dalam konteks ini, perbandingan regional menjadi penting untuk memahami bagaimana lingkungan budaya yang berbeda memengaruhi perilaku pengunjung dan keberhasilan acara. Permasalahan ilmiah mengidentifikasi adanya kesenjangan antara model budaya konvensional yang kaku dengan kebutuhan akan pemahaman perilaku budaya yang lebih fleksibel dan real-time di dalam acara. Adalah menjadi penting untuk mengatasi persoalan ini, tidak hanya untuk meningkatkan pengalaman peserta, tetapi juga untuk memastikan kesuksesan jangka panjang acara di pasar yang kompetitif dan beragam secara budaya. Penelitian ini mengasumsikan bahwa identitas budaya, yang bersifat cair dan dinamis, khususnya komunikasi interpersonal, memiliki peran penting dalam membentuk pengalaman acara, serta bahwa variasi budaya regional berpengaruh terhadap persepsi dan perilaku pengunjung secara berbeda dalam satu negara. Hipotesis utama menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat Cultural Social Connectedness antara pengunjung dan acaranya, maka semakin positif pula pengaruhnya terhadap pengalaman acara, yang kemudian meningkatkan kepuasan dan memperkuat niat untuk kembali. Selain itu, penelitian ini berupaya menentukan apakah hubungan ini berbeda secara signifikan antara wilayah Jawa dan non- Jawa, sehingga menawarkan pemahaman komparatif tentang pengaruh regional terhadap hasil pemasaran acara.
Untuk menguji hipotesis tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan mixed- methods. Data kuantitatif dikumpulkan melalui kuesioner terstruktur yang didistribusikan kepada peserta acara di delapan kota besar Indonesia—Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Bali, dan Makassar—yang dipilih berdasarkan karakteristik budaya mereka yang berbeda. Data kuantitatif ini dianalisis menggunakan Multigroup Analysis dalam Partial Least Squares Structural Equation Modeling (MGA-PLS) untuk menguji model konseptual dan mengidentifikasi variasi antar konteks budaya. Sebelumnya, data kualitatif diperoleh melalui wawancara semi-terstruktur dengan pengunjung acara untuk mengeksplorasi persepsi budaya, interaksi sosial, dan respons emosional mereka terhadap sebuah acara. Integrasi kedua metode ini memungkinkan analisis multidimensional yang kaya terhadap peran Cultural Social Connectedness dalam menentukan hasil acara. Pendekatan komparatif ini memungkinkan penilaian tentang bagaimana strategi pemasaran acara harus disesuaikan untuk lanskap budaya regional yang berbeda.
Hasil penelitian diharapkan menunjukkan bahwa pengalaman di sebuah acara yang mengintegrasikan elemen budaya lokal secara inklusif, ditambah dengan strategi komunikasi interpersonal yang efektif, akan secara signifikan meningkatkan kepuasan dan loyalitas pengunjung. Diperkirakan bahwa pengunjung yang merasakan acara sebagai resonan secara budaya dan inklusif secara sosial, akan lebih cenderung mengalami ikatan emosional, menilai keaslian acara lebih tinggi, dan memiliki niat lebih kuat untuk kembali. Selain itu, studi ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa model budaya tradisional kurang memadai dalam menjelaskan perilaku pengunjung di lingkungan acara yang dinamis, sehingga menegaskan relevansi dan aplikasi kerangka CSC. Analisis perbandingan juga diharapkan dapat mengungkap perbedaan signifikan dalam dampak Keterhubungan Sosial Budaya terhadap hasil acara antara wilayah Jawa dan non- Jawa, yang selanjutnya menyoroti pentingnya strategi pemasaran acara lokal. Penelitian ini juga berupaya mengungkap bagaimana latar belakang budaya regional memoderasi hubungan antara pengalaman acara, kepuasan, dan niat kembali, memberikan wawasan yang lebih rinci baik untuk teori akademik maupun praktik manajemen acara.
Kontribusi penelitian ini terhadap perkembangan ilmu pengetahuan bersifat multifaset. Pertama, penelitian ini memperkaya wacana teoritis dalam manajemen acara lintas budaya dengan menawarkan kerangka budaya yang adaptif dan berbasis interaksi, yang lebih sesuai untuk lingkungan multikultural yang dinamis.
Kedua, penelitian ini mengembangkan praktik metodologis dengan menerapkan MGA-PLS untuk analisis budaya dalam satu negara, sebuah area yang relatif belum banyak dijelajahi dalam literatur event tourism. Ketiga, penelitian ini memberikan rekomendasi strategis bagi praktisi, menekankan pentingnya lokalisasi pengalaman acara melalui narasi budaya, strategi komunikasi inklusif, dan desain yang fleksibel. Strategi semacam itu terutama relevan saat merencanakan dan mempromosikan acara di berbagai wilayah. Dengan demikian, penelitian ini menjembatani kesenjangan antara standarisasi global dan keaslian budaya lokal, memastikan bahwa acara tidak hanya sukses secara ekonomi tetapi juga berkelanjutan secara sosial dan budaya.
Akhirnya, disertasi ini menegaskan bahwa membangun Cultural Social Connectedness merupakan kunci dalam menciptakan pengalaman acara yang bermakna, berkesan, dan berulang. Dengan meninggalkan klasifikasi budaya yang kaku dan menerima pemahaman tentang budaya yang lebih cair dan real-time, penyelenggara acara dapat lebih efektif melibatkan audiens yang beragam, meningkatkan kepuasan pengunjung, dan membangun loyalitas jangka panjang. Dalam dunia di mana batas-batas budaya semakin kabur, acara yang berhasil membangun koneksi budaya dan sosial yang autentik akan menjadi fondasi masa depan event tourism dan keterlibatan budaya global.
Perpustakaan Digital ITB