Perubahan iklim global dan krisis emisi gas rumah kaca (GRK) menjadi tantangan
serius bagi kelangsungan hidup manusia dan Bumi. Sektor energi, terutama
pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, menjadi penyumbang emisi GRK
terbesar, yaitu 50 GtCO?-eq/tahun. Pemanfaatan biomassa dalam co-firing pada
PLTU batubara merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi emisi GRK dan
meningkatkan bauran energi terbarukan. Penerapan teknologi co-firing pada PLTU
batubara di Indonesia masih sangat minim, dengan rata-rata porsi kombinasi
biomassa terhadap batubara hanya sekitar 5% dari total kebutuhan bahan bakar.
Upaya untuk meningkatkan persentase co-firing biomassa masih terkendala oleh
keterbatasan kapasitas peralatan eksisting serta minimnya ketersediaan dan
keandalan rantai pasok biomassa.
PLTU Nagan Raya 1 dan 2 di Aceh, Indonesia, memiliki potensi besar untuk
memanfaatkan biomassa dalam co-firing. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
potensi dan dampak pemanfaatan biomassa cangkang sawit dan wood chips dalam
co- firing pada PLTU Nagan Raya 1 dan 2, serta untuk mengkaji potensi teknis cofiring
biomassa pada PLTU Nagan Raya 1 dan 2 dengan simulasi menggunakan
perangkat lunak Aspen Plus versi 14 dengan berbagai variasi rasio co-firing yang
lebih tinggi.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Metode kuantitatif
digunakan untuk analisis teknis dan ekonomi serta supply chain co-firing biomassa.
Simulasi co-firing biomassa akan dilakukan menggunakan perangkat lunak Aspen
Plus versi 14 dengan data proximate dan ultimate dari batubara dan biomassa (wood
chips & cangkang sawit) serta parameter operasi PLTU Nagan Raya 1 dan 2. Rasio
co-firing divariasikan sebesar 10%–50% berdasarkan persentase massa melalui
perangkat lunak Aspen Plus, dampak co-firing biomassa terhadap emisi gas buang
dan biaya operasional pada PLTU Nagan Raya 1 dan 2 dapat dievaluasi secara lebih
menyeluruh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan co-firing biomassa di PLTU Nagan
Raya memberikan dampak positif baik dari segi teknis, lingkungan, maupun
keekonomian. Co-firing cangkang sawit sebesar 10% dinilai paling layak
diimplementasikan karena mampu menjaga stabilitas daya, menurunkan emisi SOx
dan NOx serta memberikan efisiensi konsumsi bahan bakar dengan biaya produksi energi yang lebih rendah. Sementara itu, wood chips sebagai bahan alternatif hanya
direkomendasikan maksimal sebesar 5% karena keterbatasan pasokan dan
pengaruhnya terhadap efisiensi. Kombinasi biomassa dengan rasio 3:2 (cangkang
sawit dan wood chips) pada total campuran 10% juga terbukti optimal, baik dari sisi
performa teknis maupun kapasitas pasok lokal. Dengan mempertimbangkan
kapasitas pasok biomassa yang tersedia di wilayah Nagan Raya dan sekitarnya,
strategi implementasi co-firing dinilai layak untuk mendukung transisi energi yang
berkelanjutan.
Perpustakaan Digital ITB