digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Reza Wahyu Prasetyo
PUBLIC Open In Flipbook Ridha Pratama Rusli

Peningkatan emisi gas rumah kaca dari PLTU batubara mendorong perlunya teknologi transisi yang mampu menurunkan emisi tanpa mengganti seluruh infrastruktur. Penelitian ini mengevaluasi penerapan teknologi co-firing amonia pada PLTU sub-critical 660 MW dari aspek teknis, ekonomi, dan lingkungan. Simulasi dilakukan menggunakan Aspen Plus untuk memodelkan proses pembakaran, sedangkan analisis ekonomi menggunakan APEA. Evaluasi lingkungan dilakukan melalui pendekatan Life Cycle Assessment (LCA) untuk mengukur Global Warming Potential (GWP) dari tiga jenis amonia: grey, blue, dan green. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada rasio co-firing 50%, emisi CO? menurun sebesar 50%, dari 0,90 ton CO?/MWh menjadi 0,45 ton CO?/MWh, emisi SO? dari 534 menjadi 262 mg/Nm³, dan NO? dari 402 menjadi 384 mg/Nm³. Penurunan ini disebabkan amonia tidak mengandung karbon atau sulfur, serta adanya reaksi reduksi termal amonia terhadap NO yang menghasilkan N? dan H?O. Dari sisi ekonomi, co-firing amonia meningkatkan nilai Levelized Cost of Electricity (LCoE) secara signifikan. Pada rasio 50%, LCoE untuk grey ammonia tercatat 145,54 USD/MWh, blue ammonia sebesar 155,84 USD/MWh, dan green ammonia mencapai 252,20 USD/MWh. Kenaikan ini disebabkan oleh harga amonia yang jauh lebih tinggi, yakni 5–10 kali lipat dibandingkan harga batubara yang hanya 70 USD/MT. Sebagai perbandingan, LCoE baseline PLTU batubara adalah 49,25 USD/MWh. Berdasarkan data tahun 2025, harga awal green ammonia sebesar 885,36 USD/ton, blue ammonia 473,50 USD/ton, dan grey ammonia 429,50 USD/ton. Berdasarkan analisis LCA, penggunaan grey ammonia justru meningkatkan nilai GWP sebesar 4,83%, dari 0,91 menjadi 0,958 kg CO?-eq/kWh. Sebaliknya, blue ammonia mampu menurunkan GWP sebesar 33,59% menjadi 0,607 kg CO?- eq/kWh, dan green ammonia memberikan penurunan tertinggi hingga 50% menjadi 0,45 kg CO?-eq/kWh. Ini menunjukkan bahwa penggunaan grey ammonia hanya memindahkan sumber emisi dari cerobong PLTU ke proses produksi, sehingga tidak efektif secara keseluruhan. Upaya dekarbonisasi pembangkit co-firing amonia perlu mempertimbangkan emisi transportasi sebagai bagian dari total jejak karbon. Studi ini melakukan analisa sensitivitas emisi CO? transportasi berdasarkan jarak pengiriman dan jenis bahan bakar kapal, yakni biodiesel, MFO, dan LNG. Hasil menunjukkan biodiesel memiliki laju peningkatan emisi tertinggi, yaitu 6,54×10?? ton CO?/MWh/km, lebih besar dibandingkan MFO dan LNG. Perbedaan ini dipengaruhi oleh nilai Net Calorific Value (NCV) dan Emission Factor (EF) emisi masing-masing bahan bakar. LNG, dengan efisiensi energi tinggi dan EF rendah, menjadi opsi transportasi paling ramah lingkungan. Oleh karena itu, lokasi produksi amonia sebaiknya dioptimalkan agar dekat dengan PLTU untuk mengurangi emisi dan biaya transportasi. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa harga bahan bakar amonia sangat memengaruhi keekonomian co-firing. Agar biaya penghindaran karbon dari cofiring dapat bersaing dengan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) yang memiliki avoidance cost sebesar 105,59 USD/ton CO?, harga amonia perlu berada pada kisaran kompetitif sekitar 230 USD/ton. Temuan ini menegaskan pentingnya dukungan kebijakan harga domestik dan pengembangan ekosistem produksi amonia rendah karbon untuk mendorong transisi energi yang efisien, terjangkau, dan berkelanjutan. Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa teknologi co-firing amonia, khususnya dengan blue dan green ammonia, memiliki potensi kuat sebagai solusi transisi energi. Teknologi ini mampu mengurangi emisi secara signifikan dan dapat diterapkan dengan cepat tanpa investasi besar seperti pembangunan pembangkit EBT atau instalasi CCS, karena hanya memerlukan modifikasi kecil pada sistem PLTU yang sudah ada. Namun agar layak secara ekonomi, diperlukan dukungan kebijakan, seperti penetapan harga domestik untuk amonia, subsidi untuk amonia rendah karbon, atau skema Domestic Market Obligation (DMO) sebagaimana diterapkan pada batubara. Dengan kebijakan yang tepat, teknologi ini dapat mendukung pencapaian target Net Zero Emission (NZE) secara bertahap dan berkelanjutan.