Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara, berdasarkan
Permen LHK No.15 Tahun 2019, terdapat 4 parameter baku mutu emisi yang perlu
diperhatikan, diantaranya SO2, NO2, Partikulat, dan Hg. Untuk memenuhi standar
lingkungan yang akan semakin ketat demi mendukung upaya Net Zero Emission
(NZE) pada sektor energi, pemilihan sistem pengendalian emisi yang tepat pada
PLTU menjadi aspek penting dalam desain maupun peningkatan kinerja PLTU
eksisting. Emisi partikulat tidak dimasukkan sebagai variabel dalam penelitian ini,
dikarenakan peralatan reduksi emisi partikulat yang terpasang pada PLTU saat ini
telah memiliki efisiensi yang baik, seperti Electrostatic Precipitator (ESP) atau
Fabric Filter (FF). Sedangkan untuk emisi SOx, NOx, dan Hg, beberapa PLTU
justru ada yang tidak mengaplikasikan peralatan untuk mereduksi emisi SO2, NO2,
dan Hg. Penelitian ini dianggap penting, karena penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui efektifitas teknis dan keekonomian jika suatu peralatan reduksi emisi
SO2, NO2, dan Hg dipasang pada PLTU eksisting untuk Circulating Fluidized Bed
(CFB) kapasitas 50-100MW dan PLTU CFB 200-1000MW.
Hasil analisis menunjukkan bahwa, berdasarkan efektifitas peralatan, untuk reduksi
emisi NO2, teknologi Selective Catalytic Reduction (SCR) memiliki efisiensi
reduksi yang lebih besar sebesar 80% dibandingkan dengan teknologi Selective
Non-Catalytic Reduction (SNCR) dengan efisiensi reduksi sebesar 40%. Untuk
reduksi emisi SO2, teknologi Wet Flue Gas Desulfurization (WFGD) dan Sea Water
Flue Gas Desulfurization (SWFGD) memiliki efisiensi reduksi sebesar 95%, lebih
besar jika dibandingkan dengan teknologi Semi-Dry Flue Gas Desulfurization
(SDFGD) yang memiliki efisiensi reduksi sebesar 90%. Untuk reduksi emisi Hg,
teknologi ACI memiliki efisiensi reduksi sebesar 60%. Namun saat teknologi
Activated Carbon Injection (ACI) dikombinasikan dengan peralatan FGD (seperti
WFGD, SDFGD, atau SWFGD) efisiensi reduksi Hg dapat mencapai hingga 85%.
Berdasarkan persentase auxiliary power terhadap gross power, untuk teknologi
reduksi emisi NO2 memiliki persentase sebesar 0,01% hingga 0,03%, dengan teknologi SNCR yang memiliki kebutuhan auxiliary power lebih kecil jika
dibandingkan dengan SCR. Untuk teknologi reduksi SO2, memiliki persentase
sebesar 0,25% hingga 0,50%, dengan teknologi WFGD yang memiliki kebutuhan
auxiliary power paling kecil jika dibandingkan dengan teknologi SDFGD atau
SWFGD. Untuk teknologi reduksi emisi Hg memiliki persentase sebesar 0,17%
hingga 0,22%. Pada tipe boiler dan jenis batubara yang sama, kebutuhan auilixary
power akan meningkat seiring dengan meningkatnya kapasitas pembangkit.
Berdasarkan sisi teknis yang lain, yaitu kebutuhan akan reagen kimia masingmasing
peralatan reduksi emisi. Untuk teknologi reduksi emisi NO2, baik SCR atau
SNCR sama-sama menggunakan ammonia 29% sebagai reagennya. Dimana
Normal Stoichiometric Ratio (NSR) untuk SCR sebesar 0,86 dan NSR untuk SNCR
sebesar 1,2. Untuk teknologi reduksi emisi Hg, diperlukan activated carbon sebagai
reagennya, dengan kebutuhan injeksinya sebesar 160 kg/MMm3 volume flue gas.
Untuk reduksi emisi SO2, teknologi WFGD menggunakan CaCO3 dengan NSR
sebesar 1,05. Untuk teknologi SDFGD menggunakan CaO dengan NSR sebesar 2,
dan untuk teknologi SWFGD tidak memerlukan reagen, karena dalam proses
reduksi SO2 teknologi SWFGD menggunakan air laut.
Dari sisi biaya investasi, biaya investasi peralatan menurun seiring dengan
peningkatan kapasitas PLTU. Untuk reduksi emisi NO2, teknologi SNCR memiliki
biaya investasi yang lebih kecil yaitu sebesar 50-120 USD/kW jika dibandingkan
dengan teknologi SCR sebesar 5-20 USD/kW. Untuk reduksi emisi Hg, teknologi
ACI memiliki biaya investasi sebesar 10-35 USD/kW. Untuk reduksi SO2,
teknologi WFGD memiliki biaya investasi sebesar 35-110 USD/kW, untuk
teknologi SDFGD memiliki biaya investasi sebesar 34-110 USD/kW, dan untuk
teknologi SWFGD memiliki biaya investasi sebesar 32-93 USD/kW. Teknologi
WFGD relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan teknologi FGD lainnya.
Penelitian ini memberikan panduan strategis bagi pengelola dan perencana
pembangkit dalam menentukan sistem pengendalian emisi yang optimal untuk
memenuhi standar baku mutu emisi yang dapat saja semakin ketat kedepannya demi
mencapai Net Zero Emission (NZE). Dengan mempertimbangkan berbagai aspek
seperti efektifitas pengurangan emisi, konsumsi auxiliary power, biaya investasi,
dan konsumsi bahan kimia, penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak ada solusi
tunggal untuk semua kondisi PLTU. Oleh karena itu, pendekatan multi-kriteria dan
integrasi data teknis serta keekonomian menjadi kunci utama dalam pengambilan
keputusan investasi dan operasi peralatan pengendalian emisi PLTU di kedepannya.
Perpustakaan Digital ITB