Dalam menghadapi dinamika industri komunikasi pemasaran yang semakin kompleks dan terintegrasi, Dentsu Indonesia meluncurkan inisiatif strategis bernama One Dentsu. Inisiatif ini bertujuan untuk mengonsolidasikan berbagai unit layanan seperti Creative, Media, dan Customer Experience Management (CXM) menjadi sebuah ekosistem kerja kolaboratif yang mampu menghadirkan solusi yang menyeluruh bagi klien. Namun, pelaksanaan One Dentsu menghadapi tantangan utama berupa lemahnya koordinasi lintas fungsi dan belum efektifnya penciptaan dan pengelolaan pengetahuan antar tim. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas mekanisme Knowledge Co-Creation (KCC) dan Knowledge Governance (KG) yang diterapkan, serta merumuskan solusi tata kelola yang dapat meningkatkan implementasi One Dentsu secara sistematis.
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui wawancara mendalam terhadap lima responden kunci dari masing-masing service line. Analisis dilakukan secara tematik untuk menggali praktik, tantangan, dan potensi solusi dalam pelaksanaan KCC dan KG di lingkungan Dentsu Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses KCC saat ini masih berlangsung secara informal, tidak terstruktur, dan sangat bergantung pada inisiatif individu. Empat dimensi utama dari KCC, yakni knowledge donating, knowledge collecting, knowledge replication, dan network citizenship, berjalan dengan intensitas yang bervariasi. Praktik knowledge donating lebih dominan, namun praktik lainnya masih minim karena belum adanya sistem pendukung yang memadai seperti dokumentasi, platform berbagi pengetahuan, serta peran yang terdefinisi secara jelas. Pengetahuan yang dihasilkan cenderung bersifat tacit dan jarang terdokumentasi, sehingga menyulitkan replikasi serta pembelajaran kolektif di masa mendatang.
Dari sisi Knowledge Governance, struktur organisasi Dentsu Indonesia saat ini belum sepenuhnya mendukung kolaborasi lintas fungsi. Tidak adanya pembagian tanggung jawab yang jelas serta ketiadaan kebijakan formal yang mendorong pertukaran pengetahuan menyebabkan munculnya ambiguitas peran dan lemahnya akuntabilitas dalam pelaksanaan proyek lintas unit. Kondisi ini mencerminkan pendekatan KG yang masih bersifat supportive-based, di mana pertukaran pengetahuan hanya bergantung pada budaya kolektif tanpa dukungan sistem yang mendorong praktik tersebut secara berkelanjutan.
Sebagai solusi, penelitian ini mengusulkan integrasi antara kerangka kerja Scrum dengan Matriks RACI sebagai mekanisme tata kelola yang dapat mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Scrum menyediakan struktur kerja yang bersifat iteratif dan adaptif melalui artefak seperti Product Backlog dan Sprint serta seremonial seperti Sprint Planning dan Retrospective. Dalam implementasinya, Scrum tidak hanya mendukung proses penciptaan pengetahuan secara eksplisit dan terukur, namun juga mendorong kolaborasi yang intensif antar tim multidisiplin. Sementara itu, Matriks RACI memberikan kejelasan peran melalui kategorisasi siapa yang Responsible, Accountable, Consulted, dan Informed dalam setiap fase kerja. Dengan menggabungkan kedua metode ini, Dentsu Indonesia dapat membangun sistem kolaborasi lintas fungsi yang lebih terstruktur, terdokumentasi, dan terukur.
Lebih lanjut, penelitian ini juga merekomendasikan beberapa langkah strategis seperti pembentukan Scrum Team lintas fungsi untuk proyek prioritas, integrasi kontribusi terhadap proses KCC ke dalam evaluasi kinerja karyawan (KPI), pengembangan dokumentasi proyek dan studi kasus, serta penyelenggaraan pelatihan rutin untuk memperkuat pemahaman mengenai prinsip One Dentsu dan peran dalam KCC. Tidak kalah penting, penguatan budaya berbagi pengetahuan juga dapat dilakukan melalui insentif baik finansial maupun non-finansial.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa keberhasilan transformasi organisasi seperti One Dentsu tidak dapat hanya bergantung pada niat baik dan budaya kerja kolektif, melainkan membutuhkan kerangka tata kelola pengetahuan dan peran yang terstandarisasi dan terukur. Melalui implementasi Scrum dan RACI sebagai pendekatan sistemik, Dentsu Indonesia diharapkan mampu membangun ekosistem kerja yang lebih kolaboratif, inovatif, dan berorientasi pada pertumbuhan klien serta pengembangan talenta internal yang berkelanjutan. Temuan dalam studi ini tidak hanya relevan bagi Dentsu Indonesia, tetapi juga dapat menjadi rujukan bagi perusahaan lain dalam industri periklanan berbasis pengetahuan (Knowledge-Intensive Business Services/KIBS) yang ingin menata ulang strategi tata kelola pengetahuan mereka secara terstruktur dan terukur.
Perpustakaan Digital ITB