digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Anil Fansyori
PUBLIC Open In Flipbook Yoninur Almira

BAB 1 Anil Fansyori
PUBLIC Open In Flipbook Yoninur Almira

BAB 2 Anil Fansyori
PUBLIC Open In Flipbook Yoninur Almira

BAB 3 Anil Fansyori
PUBLIC Open In Flipbook Yoninur Almira

BAB 4 Anil Fansyori
PUBLIC Open In Flipbook Yoninur Almira

BAB 5 Anil Fansyori
PUBLIC Open In Flipbook Yoninur Almira

BAB 6 Anil Fansyori
PUBLIC Open In Flipbook Yoninur Almira

PUSTAKA Anil Fansyori
PUBLIC Open In Flipbook Yoninur Almira


Ruang terbuka hijau merupakan salah satu elemen penting pembentuk kota, tidak hanya sebatas membentuk citra dan estetika kota akan tetapi memiliki peran yang jauh lebih besar yaitu sebagai ruang yang menjaga kelestarian lingkungan alami, penyeimbang antara kawasan budidaya dan lindung serta dapat menjamin ketersediaan air tanah di kawasan perkotaan. Menyadari akan pentingnya keberadaan ruang terbuka hijau, ditetapkanlah kebijakan yang mengamanatkan kewajiban bagi pemerintah daerah untuk menyediakan RTH publik sebesar 20% dari luas wilayah administrasinya. Kewajiban tersebut berlaku untuk seluruh kabupaten/kota di Indonesia, tidak terkecuali Kota Bandung. Dalam rangka menindaklanjuti kewajiban penyediaan RTH publik tersebut, Pemerintah Daerah Kota Bandung mengeluarkan beberapa kebijakan publik skala lokal sebagai landasan operasional pelaksanaan penyediaan RTH publik di Kota Bandung. Sepuluh tahun sejak disahkannya kebijakan tersebut, Kota Bandung hanya memiliki 6,42% RTH publik. Apakah disebabkan oleh kelemahan dalam proses implementasi atau bersumber dari kebijakan yang tidak memadai untuk dijadikan sebagai acuan pelaksanaan penyediaan RTH publik sehingga pencapaian jauh dari target yang ditetapkan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka perlu dilakukan kajian evaluasi kebijakan yang dapat memberikan gambaran terhadap kualitas kebijakan penyediaan RTH publik Kota Bandung berdasarkan penilaian kriteria good public policy. Penelitian ini menggunakan metode penelitian campuran melalui pendekatan kelembagaan (legal-formal) dan pendekatan pragmatisme. Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode pengumpulan data sekunder. Dalam proses analisis evaluasi, penelitian ini mengandalkan metode analisis kebijakan semu yang menggunakan kriteria dan indikator good public policy sebagai barometer evaluasi kualitas kebijakan. Kriteria dan indikator dirumuskan berdasarkan teori ruang terbuka hijau, teori kebijakan publik dan teori analisis kebijakan. Hasil perumusan menghasilkan 4 kriteria, 11 sub kriteria dan 24 indikator penilaian. Empat kriteria good public policy tersebut, yaitu: (a) lengkap; (b) operasional; (c) terpadu; (c) akuntabel. Proses analisis dilakukan melalui empat tahap pengukuran: (1) pengukuran indikator; (2) pengukuran sub kriteria; (3) pengukuran kriteria; (4) pengukuran kualitas kebijakan. Pengukuran menggunakan skala biner, bobot dan interval. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, kebijakan publik penyediaan RTH Kota Bandung termasuk pada tingkat good public policy karena dapat memenuhi kriteria lengkap, operasional, integrasi dan akuntabel. Kedua, Kebijakan penyediaan RTH publik Kota Bandung adalah kebijakan yang lengkap artinya kebijakan tersebut sudah berhierarki, memiliki tujuan dan sasaran yang jelas serta telah mengakomodir keterlibatan setiap pemangku kepentingan. Ketiga, Kebijakan penyediaan RTH publik Kota Bandung adalah kebijakan yang operasional artinya kebijakan tersebut dapat dijadikan acuan pelaksanaan pembangunan RTH publik karena memiliki target-target pencapaian yang detail dan dinyatakan dalam istilah terukur. Keempat, kebijakan penyediaan RTH publik Kota Bandung adalah kebijakan yang terpadu artinya kebijakan tersebut merupakanii kebijakan yang selaras, terorganisir, dan tidak tumpang tindih antar tiap kebijakannya, bersifat adil, tidak memihak, dan fokus kepada tujuan penyediaan fasilitas publik. Kelima, kebijakan penyediaan RTH publik Kota Bandung adalah kebijakan yang akuntabel artinya kebijakan tersebut bersifat evaluatif, terbuka, transparan dan dapat mengakomodir perubahan, tantangan dan peluang yang dihadapi. Keenam, belum terpenuhinya target pencapaian 20% RTH Kota Bandung disebabkan oleh lemahnya kinerja pelaksanaan pembangunan RTH Kota Bandung dan bukan karena kebijakan penyediaan RTH yang tidak memadai.