Perubahan iklim global akibat pemanasan bumi mendorong Indonesia beralih dari energi
fosil menuju Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk mencapai target Net Zero Emission
(NZE). Salah satu tantangan utama adalah keberadaan sistem kelistrikan terisolasi di daerah
terpencil yang masih bergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD).
Ketergantungan ini menimbulkan dua masalah utama yaitu tingginya emisi karbon dan biaya
bahan bakar yang mahal akibat distribusi yang sulit. Untuk mengatasi masalah ini, PLN
meluncurkan program dedieselisasi dengan mengganti PLTD menggunakan Pembangkit
Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dilengkapi Battery Energy Storage System (BESS).
Namun BESS memiliki tantangan keterbatasan dalam menyimpan energi untuk jangka
panjang. Hidrogen menawarkan solusi alternatif sebagai penyimpanan energi jangka
panjang yang lebih fleksibel dan ekonomis dibandingkan BESS.
Sebagai teknologi pemanfaatan hidrogen, Hydrogen Fuel Cell Generator (HFCG)
mengubah hidrogen menjadi listrik melalui reaksi elektrokimia tanpa emisi karbon. Hal ini
menjadikannya solusi yang berkelanjutan untuk mendukung target NZE Indonesia. Pada
sistem PLTS-HFCG, energi tidak tergunakan berpotensi dimanfaatkan untuk memproduksi
hidrogen melalui proses elektrolisis. Hidrogen yang dihasilkan ini dapat digunakan untuk
mendukung kebutuhan energi domestik di sistem terisolasi, maupun untuk peluang ekspor
ke negara yang sedang membangun ekosistem energi hijau.
Penelitian ini menganalisis aspek tekno-ekonomi sistem PLTS-HFCG sebagai alternatif
PLTS-BESS dalam program dedieselisasi pada sistem kelistrikan terisolasi di Indonesia.
Simulasi dilakukan dengan membandingkan model PLTS-BESS dan PLTS-HFCG pada
kondisi normal dan pada beberapa kondisi autonomi, menggunakan perangkat lunak
HOMER Pro dan PVsyst. Analisis sensitivitas juga dilakukan untuk mengevaluasi dampak
perubahan beberapa parameter terhadap keekonomian sistem. Selain itu, penelitian ini juga
mencakup analisis pemanfaatan energi tidak tergunakan dari sistem PLTS-HFCG untuk
produksi hidrogen melalui elektrolisis, serta evaluasi awal terhadap kelayakan ekspor
hidrogen tersebut ke pasar internasional.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa nilai LCOE untuk sistem PLTS-HFCG sebesar Rp
3.500,37/kWh, lebih tinggi dibandingkan sistem PLTS-BESS sebesar Rp 2.356,81/kWh.
Meskipun demikian, kedua sistem tersebut masih lebih ekonomis dibandingkan BPP PLTD
eksisting, yaitu sebesar Rp 4.376/kWh. Menariknya, LCOE sistem PLTS-HFCG dapat
menyamai LCOE PLTS-BESS pada skenario autonomi 4 hari. Hal ini menunjukkan potensi
PLTS-HFCG pada sistem kelistrikan terisolasi yang membutuhkan penyimpanan energi
jangka panjang. Selain itu berdasarkan hasil analisis sensitifitas, efisiensi elektroliser dan
efisiensi HFCG adalah dua parameter yang paling berpengaruh terhadap LCOE sistem
tersebut.
Hasil perhitungan LCOH sistem PLTS-HFCG adalah 3,38 USD/kg. Dengan memanfaatkan
energi tidak tergunakan dari sistem PLTS-HFCG hingga tersisa 4,45% dari total produksi
energi, dapat dihasilkan hidrogen tambahan sebesar 23,67 ton per tahun, dengan nilai LCOH
sebesar 3,23 USD/kg. Selanjutnya nilai LCOH untuk skema CIF ekspor hidrogen cair ke
Jepang didapatkan 6,81 USD/kg. Nilai tersebut
Kontribusi dari penelitian ini tidak hanya memberikan gambaran mengenai aspek teknis dan
keekonomian dari integrasi PLTS-HFCG, tetapi juga membuka perspektif baru dalam
pemanfaatan energi tidak tergunakan untuk mendukung pengembangan pasar hidrogen
domestik dan internasional. Hasil penelitian diharapkan memberikan rekomendasi optimal
untuk program dedieselisasi, meningkatkan keandalan listrik di daerah terisolasi, serta
mendukung pencapaian target NZE dan roadmap pengembangan ekonomi hidrogen
Indonesia.
Perpustakaan Digital ITB