digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Perubahan iklim global akibat pemanasan bumi mendorong Indonesia beralih dari energi fosil menuju Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE). Salah satu tantangan utama adalah keberadaan sistem kelistrikan terisolasi di daerah terpencil yang masih bergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Ketergantungan ini menimbulkan dua masalah utama yaitu tingginya emisi karbon dan biaya bahan bakar yang mahal akibat distribusi yang sulit. Untuk mengatasi masalah ini, PLN meluncurkan program dedieselisasi dengan mengganti PLTD menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dilengkapi Battery Energy Storage System (BESS). Namun BESS memiliki tantangan keterbatasan dalam menyimpan energi untuk jangka panjang. Hidrogen menawarkan solusi alternatif sebagai penyimpanan energi jangka panjang yang lebih fleksibel dan ekonomis dibandingkan BESS. Sebagai teknologi pemanfaatan hidrogen, Hydrogen Fuel Cell Generator (HFCG) mengubah hidrogen menjadi listrik melalui reaksi elektrokimia tanpa emisi karbon. Hal ini menjadikannya solusi yang berkelanjutan untuk mendukung target NZE Indonesia. Pada sistem PLTS-HFCG, energi tidak tergunakan berpotensi dimanfaatkan untuk memproduksi hidrogen melalui proses elektrolisis. Hidrogen yang dihasilkan ini dapat digunakan untuk mendukung kebutuhan energi domestik di sistem terisolasi, maupun untuk peluang ekspor ke negara yang sedang membangun ekosistem energi hijau. Penelitian ini menganalisis aspek tekno-ekonomi sistem PLTS-HFCG sebagai alternatif PLTS-BESS dalam program dedieselisasi pada sistem kelistrikan terisolasi di Indonesia. Simulasi dilakukan dengan membandingkan model PLTS-BESS dan PLTS-HFCG pada kondisi normal dan pada beberapa kondisi autonomi, menggunakan perangkat lunak HOMER Pro dan PVsyst. Analisis sensitivitas juga dilakukan untuk mengevaluasi dampak perubahan beberapa parameter terhadap keekonomian sistem. Selain itu, penelitian ini juga mencakup analisis pemanfaatan energi tidak tergunakan dari sistem PLTS-HFCG untuk produksi hidrogen melalui elektrolisis, serta evaluasi awal terhadap kelayakan ekspor hidrogen tersebut ke pasar internasional. Hasil simulasi menunjukkan bahwa nilai LCOE untuk sistem PLTS-HFCG sebesar Rp 3.500,37/kWh, lebih tinggi dibandingkan sistem PLTS-BESS sebesar Rp 2.356,81/kWh. Meskipun demikian, kedua sistem tersebut masih lebih ekonomis dibandingkan BPP PLTD eksisting, yaitu sebesar Rp 4.376/kWh. Menariknya, LCOE sistem PLTS-HFCG dapat menyamai LCOE PLTS-BESS pada skenario autonomi 4 hari. Hal ini menunjukkan potensi PLTS-HFCG pada sistem kelistrikan terisolasi yang membutuhkan penyimpanan energi jangka panjang. Selain itu berdasarkan hasil analisis sensitifitas, efisiensi elektroliser dan efisiensi HFCG adalah dua parameter yang paling berpengaruh terhadap LCOE sistem tersebut. Hasil perhitungan LCOH sistem PLTS-HFCG adalah 3,38 USD/kg. Dengan memanfaatkan energi tidak tergunakan dari sistem PLTS-HFCG hingga tersisa 4,45% dari total produksi energi, dapat dihasilkan hidrogen tambahan sebesar 23,67 ton per tahun, dengan nilai LCOH sebesar 3,23 USD/kg. Selanjutnya nilai LCOH untuk skema CIF ekspor hidrogen cair ke Jepang didapatkan 6,81 USD/kg. Nilai tersebut Kontribusi dari penelitian ini tidak hanya memberikan gambaran mengenai aspek teknis dan keekonomian dari integrasi PLTS-HFCG, tetapi juga membuka perspektif baru dalam pemanfaatan energi tidak tergunakan untuk mendukung pengembangan pasar hidrogen domestik dan internasional. Hasil penelitian diharapkan memberikan rekomendasi optimal untuk program dedieselisasi, meningkatkan keandalan listrik di daerah terisolasi, serta mendukung pencapaian target NZE dan roadmap pengembangan ekonomi hidrogen Indonesia.