digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Penelitian ini mengevaluasi kelayakan tekno-ekonomi penerapan teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) yang dipadukan dengan co-firing biomassa pada PLTU Teluk Balikpapan sebagai bagian dari strategi dekarbonisasi sektor energi Indonesia menuju target Net Zero Emission 2060. Latar belakangnya adalah tingginya emisi CO? dari pembangkit berbahan bakar fosil, sementara unit studi masih mengandalkan batubara sebagai sumber energi utama. Co-firing biomassa dalam hal ini wood bark (kulit kayu) dan palm kernel shell (cangkang sawit) dipilih untuk menurunkan intensitas karbon tanpa perubahan besar pada infrastruktur. CCUS kemudian memberikan penurunan emisi lanjutan dengan menangkap CO2 dari gas buang sebelum dilepas ke atmosfer. Kombinasi keduanya diharapkan menghasilkan solusi terpadu yang menekan emisi sekaligus menjaga biaya produksi listrik tetap kompetitif. Metodologi menggunakan simulasi aliran massa dan energi pada kolom absorber dan regenerator di Aspen HYSYS untuk dua formulasi pelarut amina, yakni monoethanolamine + piperazine (MEA+PZ) dan methyldiethanolamine + piperazine (MDEA+PZ). Empat skenario operasi dimodelkan: baseline 100% batubara tanpa CCUS (LCOE Rp 1.467,00/kWh), konfigurasi 100% batubara dengan CCUS menggunakan MEA+PZ (Rp 1.848,93/kWh), co-firing 97% batubara + 3% wood bark dengan CCUS memakai MEA+PZ (Rp 2.179,41/kWh), serta co-firing 95% batubara + 5% palm kernel shell dengan CCUS menggunakan MDEA+PZ (Rp 1.970,03/kWh). Parameter yang dianalisis meliputi energy penalty, efisiensi penangkapan CO2, kemurnian CO2 hasil tangkapan, total konsumsi energi sistem, kebutuhan energi regenerasi pelarut dan LCOE (Rp/kWh). Validitas hasil diuji dengan menjadikan baseline tanpa CCUS sebagai acuan teknis dan ekonomis. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penerapan CCUS tanpa co-firing meningkatkan LCOE sebesar 26% dibanding baseline (Rp 1.848,93 vs Rp 1.467,00/kWh), dengan efisiensi penangkapan 85,98%, energy penalty 43,83%, total konsumsi energi 96,43 MW dan kebutuhan regenerasi 3,74 kJ/kg CO2. Co-firing 3% wood bark menaikkan efisiensi penangkapan menjadi 87,68% dengan energy penalty 43,94% dan regenerasi 3,80 kJ/kg CO2, namun LCOE melonjak ke Rp 2.179,41/kWh atau sekitar 17,9% lebih tinggi dari konfigurasi CCUS tanpa co-firing. Sebaliknya, integrasi MDEA+PZ dengan 5% palm kernel shell mencapai efisiensi penangkapan 97,98%, energy penalty terendah 36,08%, total konsumsi energi 79,37 MW dan regenerasi 2,57 kJ/kg CO2. LCOE pada skenario ini Rp 1.970,03/kWh naik 6,6% terhadap CCUS tanpa co-firing namun 9,6% lebih rendah dibanding skenario 3% wood bark sehingga memberikan performa teknis-ekonomis terbaik di antara konfigurasi dengan biomassa. Analisis komparatif menegaskan tiga poin kunci. Pertama, MDEA+PZ unggul secara termodinamika dengan kebutuhan regenerasi 31% lebih rendah daripada MEA+PZ (2,57 vs 3,74 kJ/kg CO2) dan menekan total konsumsi energi sekitar 17,7%. Kedua, pemanfaatan palm kernel shell memberikan dampak biaya yang lebih efisien dibanding wood bark, tercermin dari kombinasi energy penalty lebih rendah dan LCOE yang lebih kompetitif. Ketiga, meski co-firing pada prinsipnya menaikkan LCOE dibanding konfigurasi CCUS tanpa co-firing, kombinasi 5% palm kernel shell dengan MDEA+PZ menawarkan titik keseimbangan paling baik antara kinerja teknis (hampir 98% capture) dan kelayakan ekonomi. Disimpulkan bahwa integrasi CCUS dengan co-firing biomassa layak secara tekno-ekonomi untuk PLTU Teluk Balikpapan, khususnya dengan pelarut MDEA+PZ dan rasio 5% palm kernel shell. Rekomendasi strategis meliputi prioritas pasok cangkang sawit, adopsi MDEA+PZ untuk optimasi regenerasi, penguatan kebijakan insentif biomassa, serta studi sensitivitas lanjutan atas harga biomassa, dinamika pasar karbon dan dukungan regulasi guna mempercepat dekarbonisasi sejalan target Net Zero Emission 2060.