Kota Banda Aceh menghadapi tantangan serius dalam penyediaan hunian layak dan terjangkau akibat keterbatasan lahan, tingginya harga properti, dan pertumbuhan penduduk yang dipicu urbanisasi. Permasalahan sosial seperti melemahnya kohesi, meningkatnya gaya hidup individualistik, dan berkurangnya interaksi antarwarga turut memperburuk kondisi tersebut. Cohousing hadir sebagai alternatif yang tidak hanya menawarkan keterjangkauan fisik, tetapi juga membangun kehidupan komunitas inklusif melalui pengelolaan ruang bersama. Penelitian ini bertujuan menganalisis potensi adaptasi konsep gampong sebagai model dasar pengembangan cohousing di Banda Aceh. Pendekatan kualitatif eksploratif digunakan melalui studi kasus pada tiga gampong: Lubok Sukon, Nusa, dan Bineh Blang, dengan pengumpulan data melalui observasi lapangan, wawancara mendalam, dan studi literatur. Analisis dilakukan dengan membandingkan karakteristik permukiman gampong dan prinsip cohousing pada aspek sosial, spasial, ekonomi, dan kelembagaan. Hasil penelitian menunjukkan kesamaan yang kuat pada aspek sosial-budaya, dengan nilai gotong royong, musyawarah, pengelolaan kolektif, serta keberadaan ruang bersama seperti meunasah dan balai sebagai modal sosial utama. Mekanisme wakaf dan bagi hasil juga membuka peluang kontribusi lahan dalam skema hunian kolektif. Untuk mengatasi tantangan kelembagaan dan legalitas, diperlukan perancangan skema kepemilikan bersama yang formal, dukungan regulasi, dan pembiayaan sesuai konteks lokal. Dengan demikian, konsep gampong memiliki potensi signifikan untuk diadaptasi dalam pengembangan cohousing di Banda Aceh sebagai solusi krisis hunian sekaligus penguatan nilai sosial masyarakat urban.
Perpustakaan Digital ITB