Krisis energi dan meningkatnya kebutuhan akan sumber energi berkelanjutan
mendorong berbagai upaya diversifikasi energi, salah satunya melalui penerapan
teknologi co-firing biomassa pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis
batubara. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi potensi pemanfaatan
biomassa sebagai bahan bakar alternatif dalam proses co-firing di Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara, dengan studi kasus di PLTU Indramayu. Hal
ini didorong oleh meningkatnya kebutuhan energi dan komitmen Indonesia untuk
meningkatkan bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sesuai target nasional,
sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap batubara sebagai sumber energi
utama. Co-firing, yaitu pencampuran batubara dengan biomassa, dinilai sebagai
salah satu strategi yang paling layak secara teknis dan ekonomis untuk transisi
energi menuju rendah karbon.
Penelitian ini mencakup analisis aspek kualitas, kuantitas, dan kontinuitas pasokan
biomassa yang dapat digunakan sebagai bahan bakar co-firing. Dua jenis biomassa
yang dianalisis adalah sekam padi dan serbuk kayu, yang tersedia di wilayah sekitar
PLTU Indramayu, khususnya dari Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kajian
dilakukan secara menyeluruh, mencakup aspek kualitas melalui pemodelan
termodinamika menggunakan perangkat lunak Aspen Plus, serta aspek kuantitas
dan kontinuitas melalui optimasi rantai pasok menggunakan perangkat lunak
LINGO berbasis pemrograman linear. Analisis difokuskan pada skenario co-firing
dengan rasio campuran biomassa terhadap batubara antara 1% hingga 5%.
Pemodelan proses co-firing dilakukan menggunakan perangkat lunak Aspen Plus
untuk menganalisis kinerja termal dan emisi dari berbagai rasio campuran
biomassa-batubara, mulai dari 1% hingga 5%. Sementara itu, perangkat lunak
LINGO digunakan untuk mengoptimasi rantai pasok dengan mempertimbangkan
aspek biaya, kapasitas pemasok, dan jarak transportasi.
Hasil simulasi Aspen Plus menunjukkan bahwa penerapan co-firing biomassa
hingga 5% tidak menurunkan efisiensi termal secara signifikan dan masih
memenuhi batasan teknis operasi pembangkit. Selain itu, terjadi penurunan emisi
gas rumah kaca seperti CO?, SO?, dan NO?, yang menunjukkan manfaat lingkungan
dari penerapan teknologi ini. Temuan ini menegaskan bahwa co-firing tidak hanya
feasible dari sisi teknis, tetapi juga memberikan manfaat lingkungan yang
substansial. Namun demikian, dari sisi kuantitas, hasil identifikasi menunjukkan bahwa total kapasitas pasokan biomassa dari pemasok eksisting di sekitar PLTU
Indramayu hanya mencapai sekitar 4.330 ton per bulan, jauh di bawah kebutuhan
sebesar 14.070 ton per bulan untuk mencapai rasio co-firing 5%. Hal ini
menciptakan defisit pasokan sebesar 9.740 ton per bulan. Untuk mengatasi defisit
pasokan ini, melalui pemodelan optimasi rantai pasok menggunakan LINGO,
diperoleh skenario pengadaan dengan biaya minimum sebesar Rp11,19 miliar per
bulan. Untuk mengatasi kekurangan pasokan ini, direkomendasikan pengembangan
Hutan Tanaman Energi (HTE) seluas 2.338 hektar. Dua lokasi potensial telah
diidentifikasi dengan luas masing-masing 1.400 hingga 1.600 hektar, yang secara
geografis dekat dengan PLTU dan secara teknis memenuhi syarat pengembangan.
Penelitian ini membuktikan bahwa strategi co-firing biomassa tidak hanya layak
secara teknis dan lingkungan, tetapi juga memungkinkan untuk dioptimalkan dari
sisi biaya dan logistik dengan pendekatan pemrograman linear. Namun,
keberhasilan jangka panjang dari implementasi ini sangat bergantung pada
kesinambungan pasokan biomassa, dukungan infrastruktur logistik, serta integrasi
kebijakan yang mendorong investasi dalam rantai pasok biomassa. Hasil studi ini
diharapkan menjadi acuan strategis dalam pengembangan implementasi co-firing
biomassa secara nasional guna mendukung target bauran energi baru terbarukan
dan transisi menuju sistem energi yang lebih bersih.
Perpustakaan Digital ITB