Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi implementasi co-firing
biomassa pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) subkritikal kelas 600 MW
di Indonesia, sebagai upaya untuk mendukung transisi energi berkelanjutan dan
pengurangan emisi karbon. Sebagai negara dengan ketergantungan tinggi terhadap
energi fosil, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam upaya menurunkan emisi
gas rumah kaca (GHG) dari sektor ketenagalistrikan. Salah satu solusi yang
diusulkan untuk mengurangi emisi CO2 dan mendukung target energi terbarukan
adalah dengan menerapkan teknologi co-firing, yang mengintegrasikan biomassa
sebagai bahan bakar tambahan bersama dengan batubara. Dengan menggunakan
metode simulasi proses dan analisis neraca energi melalui perangkat lunak
Thermoflow, penelitian ini mengeksplorasi dampak penggunaan biomassa jenis
sawdust, wood chip, dan wood pellet terhadap performa pembangkit, efisiensi
termal, dan emisi CO2.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa penerapan co-firing hingga 5% biomassa dapat
dilakukan tanpa penurunan daya mampu secara signifikan. Di antara berbagai jenis
biomassa yang diuji, wood pellet menunjukkan performa terbaik, memberikan
kontribusi positif terhadap efisiensi termal serta stabilitas operasional pembangkit.
Performa terbaik ini dihasilkan dari karakteristik komposisi biomassa wood pellet
yang lebih konsisten dan stabil dibandingkan dengan jenis biomassa lainnya, yang
memungkinkan pembakaran lebih efisien. Selain itu, penelitian ini mengidentifikasi
bahwa variasi kelembaban batubara dan kelebihan udara (excess air) juga
memengaruhi efisiensi pembangkit. Kondisi terbaik dalam hal efisiensi tercapai
pada kelembaban batubara 21% dan excess air sebesar 20%, yang menunjukkan
bahwa pengendalian parameter operasional dapat meningkatkan efisiensi energi
dari sistem pembangkit.
Penerapan co-firing biomassa ini juga mampu menurunkan emisi CO2 pembangkit
secara signifikan. Emisi CO2 yang dihasilkan oleh PLTU subkritikal kelas 600 MW
dengan co-firing biomassa dapat ditekan di bawah batas ambang yang ditetapkan dalam regulasi KEPMEN ESDM No. 14.K/TL.04/MEM.L/2023. Ini memberikan
potensi pengurangan beban pajak karbon yang dikenakan pada pembangkit listrik
berbahan bakar fosil, serta mendukung kebijakan pemerintah Indonesia dalam
mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Dengan
demikian, co-firing biomassa menjadi solusi yang menjanjikan dalam upaya
mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil sekaligus mengurangi jejak
karbon sektor ketenagalistrikan.
Namun, meskipun co-firing biomassa dapat menghasilkan keuntungan dalam hal
pengurangan emisi CO2, penelitian ini juga mencatat potensi terjadinya slagging,
fouling, dan korosi pada sistem pembakaran. Risiko-risiko tersebut terutama
dipengaruhi oleh karakteristik batubara yang digunakan, khususnya kandungan abu
dan alkali yang ada pada batubara. Slagging terjadi ketika abu meleleh dan
menempel pada permukaan pipa boiler, sementara fouling terjadi akibat abu yang
mengendap pada permukaan pipa pemanas, yang keduanya dapat mengurangi
efisiensi pembangkit. Korosi pada peralatan boiler juga menjadi perhatian,
mengingat kandungan sulfur dan klorin dalam biomassa yang dapat berinteraksi
dengan material boiler pada suhu tinggi. Oleh karena itu, pengendalian kualitas
batubara yang digunakan, bersama dengan pengoptimalan parameter operasional
lainnya, seperti suhu dan rasio udara pembakaran, sangat penting untuk
meminimalkan risiko-risiko ini.
Sebagai rekomendasi, penelitian ini menyarankan agar implementasi co-firing
biomassa dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal, penggunaan biomassa
sebaiknya dibatasi pada 5% untuk menghindari potensi gangguan operasional,
sambil memantau kondisi sistem secara menyeluruh. Selain itu, penting untuk
melakukan kontrol kualitas biomassa secara ketat, termasuk pengujian karakteristik
bahan bakar sebelum diterapkan dalam pembangkit. Penelitian ini juga
menekankan perlunya pengoptimalan parameter operasi pembangkit, seperti
kelembaban batubara, excess air, dan suhu pembakaran, untuk mendukung transisi
energi yang lebih efisien dan berkelanjutan.
Secara keseluruhan, co-firing biomassa dapat menjadi langkah penting dalam
transisi energi Indonesia, dengan memberikan kontribusi dalam pengurangan emisi
karbon tanpa memerlukan investasi besar dalam penggantian infrastruktur
pembangkit yang ada. Teknologi ini juga berpotensi mendukung ekonomi berbasis
energi terbarukan, memperluas akses elektrifikasi di daerah terpencil, serta
mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. Namun, pengimplementasiannya
harus dilakukan dengan memperhatikan risiko-risiko teknis dan operasional yang
dapat mempengaruhi performa pembangkit dalam jangka panjang.
Perpustakaan Digital ITB