digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi implementasi co-firing biomassa pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) subkritikal kelas 600 MW di Indonesia, sebagai upaya untuk mendukung transisi energi berkelanjutan dan pengurangan emisi karbon. Sebagai negara dengan ketergantungan tinggi terhadap energi fosil, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GHG) dari sektor ketenagalistrikan. Salah satu solusi yang diusulkan untuk mengurangi emisi CO2 dan mendukung target energi terbarukan adalah dengan menerapkan teknologi co-firing, yang mengintegrasikan biomassa sebagai bahan bakar tambahan bersama dengan batubara. Dengan menggunakan metode simulasi proses dan analisis neraca energi melalui perangkat lunak Thermoflow, penelitian ini mengeksplorasi dampak penggunaan biomassa jenis sawdust, wood chip, dan wood pellet terhadap performa pembangkit, efisiensi termal, dan emisi CO2. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penerapan co-firing hingga 5% biomassa dapat dilakukan tanpa penurunan daya mampu secara signifikan. Di antara berbagai jenis biomassa yang diuji, wood pellet menunjukkan performa terbaik, memberikan kontribusi positif terhadap efisiensi termal serta stabilitas operasional pembangkit. Performa terbaik ini dihasilkan dari karakteristik komposisi biomassa wood pellet yang lebih konsisten dan stabil dibandingkan dengan jenis biomassa lainnya, yang memungkinkan pembakaran lebih efisien. Selain itu, penelitian ini mengidentifikasi bahwa variasi kelembaban batubara dan kelebihan udara (excess air) juga memengaruhi efisiensi pembangkit. Kondisi terbaik dalam hal efisiensi tercapai pada kelembaban batubara 21% dan excess air sebesar 20%, yang menunjukkan bahwa pengendalian parameter operasional dapat meningkatkan efisiensi energi dari sistem pembangkit. Penerapan co-firing biomassa ini juga mampu menurunkan emisi CO2 pembangkit secara signifikan. Emisi CO2 yang dihasilkan oleh PLTU subkritikal kelas 600 MW dengan co-firing biomassa dapat ditekan di bawah batas ambang yang ditetapkan dalam regulasi KEPMEN ESDM No. 14.K/TL.04/MEM.L/2023. Ini memberikan potensi pengurangan beban pajak karbon yang dikenakan pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil, serta mendukung kebijakan pemerintah Indonesia dalam mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Dengan demikian, co-firing biomassa menjadi solusi yang menjanjikan dalam upaya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil sekaligus mengurangi jejak karbon sektor ketenagalistrikan. Namun, meskipun co-firing biomassa dapat menghasilkan keuntungan dalam hal pengurangan emisi CO2, penelitian ini juga mencatat potensi terjadinya slagging, fouling, dan korosi pada sistem pembakaran. Risiko-risiko tersebut terutama dipengaruhi oleh karakteristik batubara yang digunakan, khususnya kandungan abu dan alkali yang ada pada batubara. Slagging terjadi ketika abu meleleh dan menempel pada permukaan pipa boiler, sementara fouling terjadi akibat abu yang mengendap pada permukaan pipa pemanas, yang keduanya dapat mengurangi efisiensi pembangkit. Korosi pada peralatan boiler juga menjadi perhatian, mengingat kandungan sulfur dan klorin dalam biomassa yang dapat berinteraksi dengan material boiler pada suhu tinggi. Oleh karena itu, pengendalian kualitas batubara yang digunakan, bersama dengan pengoptimalan parameter operasional lainnya, seperti suhu dan rasio udara pembakaran, sangat penting untuk meminimalkan risiko-risiko ini. Sebagai rekomendasi, penelitian ini menyarankan agar implementasi co-firing biomassa dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal, penggunaan biomassa sebaiknya dibatasi pada 5% untuk menghindari potensi gangguan operasional, sambil memantau kondisi sistem secara menyeluruh. Selain itu, penting untuk melakukan kontrol kualitas biomassa secara ketat, termasuk pengujian karakteristik bahan bakar sebelum diterapkan dalam pembangkit. Penelitian ini juga menekankan perlunya pengoptimalan parameter operasi pembangkit, seperti kelembaban batubara, excess air, dan suhu pembakaran, untuk mendukung transisi energi yang lebih efisien dan berkelanjutan. Secara keseluruhan, co-firing biomassa dapat menjadi langkah penting dalam transisi energi Indonesia, dengan memberikan kontribusi dalam pengurangan emisi karbon tanpa memerlukan investasi besar dalam penggantian infrastruktur pembangkit yang ada. Teknologi ini juga berpotensi mendukung ekonomi berbasis energi terbarukan, memperluas akses elektrifikasi di daerah terpencil, serta mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. Namun, pengimplementasiannya harus dilakukan dengan memperhatikan risiko-risiko teknis dan operasional yang dapat mempengaruhi performa pembangkit dalam jangka panjang.