Restorasi hutan tropis melalui penaburan langsung (direct seeding) merupakan pendekatan
yang potensial karena menawarkan efisiensi logistik dan kebutuhan sumber daya yang lebih
rendah dibandingkan dengan penanaman bibit. Namun, keberhasilan metode ini sangat
bergantung pada fase awal regenerasi, khususnya proses germinasi biji dan pertumbuhan awal
anakan yang rentan terhadap kegagalan, terutama cekaman lingkungan berupa kekeringan.
Dalam hal ini, pendekatan karakter fungsional (functional trait) menjadi sangat relevan.
Variabel seperti massa biji, ketebalan testa, panjang akar, dan luas daun spesifik berfungsi
sebagai indikator yang memungkinkan prediksi kemampuan spesies untuk bertahan dan
beradaptasi pada kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan. Karakter-karakter tersebut
berkorelasi erat dengan strategi germinasi serta toleransinya terhadap cekaman kekeringan.
Selain seleksi spesies berbasis karakter fungsional, pendekatan teknologi peningkatan kualitas
biji (seed enhancement technology/SET) seperti priming dan pelapisan biji dengan bahan aktif,
seperti asam salisilat dan kalium nitrat (KNO?), dapat memperbaiki kecepatan germinasi dan
persentase germinasi serta meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan. Mekanisme kerja
bahan aktif ini melibatkan stimulasi hormon tanaman dan perbaikan keseimbangan osmotik
pada biji dan anakan muda.
Namun demikian, efektivitas kedua pendekatan tersebut masih sedikit dikaji pada spesies
tumbuhan berkayu tropis, khususnya yang berasal dari ekosistem pegunungan bawah Indonesia
dengan karakteristik lingkungan yang khas. Oleh karena itu, karakterisasi sifat fungsional biji
dan anakan serta evaluasi respons terhadap teknologi peningkatan kualitas biji sangat
diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan dan efektivitas dari restorasi hutan berbasis biji.
Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi peran karakter fungsional biji dan anakan serta
teknologi peningkatan kualitas biji dalam meningkatkan keberhasilan fase awal regenerasi
tumbuhan di bawah cekaman kekeringan. Seluruh spesies yang digunakan merupakan spesies
pohon lokal hutan pegunungan bawah yang belum banyak dimanfaatkan dalam restorasi hutan
dan belum banyak dibudidayakan secara intensif, sehingga dikategorikan sebagai jenis nonkomersial
pada disertasi ini.
Seluruh eksperimen dilakukan dalam kondisi terkendali di laboratorium dan rumah kaca, yang
terdiri atas tiga tahap. Pertama, dilakukan karakterisasi terhadap 31 spesies pohon berkayu dari
hutan pegunungan bawah di Indonesia untuk mengungkap variasi karakter morfologi biji,
viabilitas, dan strategi germinasi. Kedua, tujuh spesies terpilih dikaji lebih lanjut untuk
mengevaluasi hubungan antara karakter fungsional anakan dan ketahanan terhadap cekaman
kekeringan. Ketiga, lima spesies berbiji kecil yang menunjukkan performa rendah di bawah
kekeringan diuji menggunakan teknologi priming dan pelapisan biji dengan bahan aktif (asam
salisilat dan KNO?).
Penelitian pertama dengan tema pengaruh karakter fungsional biji terhadap germinasi,
mengungkap peran penting karakter fungsional biji, seperti dormansi, massa biji, dan ketebalan
testa, dalam menentukan tingkat germinasi akhir serta waktu rata-rata germinasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dormansi biji berkorelasi negatif terhadap persentase germinasi
akhir, biji yang tidak mengalami dormansi memiliki tingkat germinasi yang lebih tinggi
dibandingkan biji dengan dormansi fisiologis, morfologis, morfofisiologis, maupun fisik.
Selain itu, ketebalan testa dan rasio ketebalan testa terhadap ukuran biji cenderung
menghambat germinasi dengan mengurangi kemampuan biji menyerap air dan merespon
kondisi lingkungan. Massa biji juga berpengaruh terhadap waktu germinasi, di mana biji
dengan massa lebih besar umumnya memerlukan waktu lebih lama untuk bergerminasi
dibandingkan biji yang lebih kecil. Penelitian ini juga mengidentifikasi sepuluh spesies lokal
tropis yang mampu bergerminasi dengan mudah tanpa memerlukan perlakuan khusus,
yaitu Acer laurinum, Aphanamixis polystachya, Engelhardia serrata, Ficus fistulosa, Ficus
ribes, Gaultheria leucocarpa, Maoutia diversifolia, Ormosia penangensis, Phyllanthus
emblica, dan Saurauia pendula.
Penelitian kedua mengenai pengaruh karakter fungsional terhadap kesintasan dan pertumbuhan
di bawah cekaman kekeringan. Pada penelitian ini ditemukan bahwa rasio akar terhadap taruk
(root-to-shoot ratio/RSR) dan massa daun per luas permukaan (leaf mass area/LMA) memiliki
korelasi negatif dengan kesintasan anakan, terutama saat mengalami cekaman kekeringan
berat. Variasi antar spesies cukup besar, dengan efek spesies memberikan kontribusi signifikan
terhadap perbedaan kesintasan. Massa biji dan kandungan bahan kering akar (root dry matter
content/RDMC) berasosiasi positif dengan laju pertumbuhan relatif, menunjukkan bahwa
spesies dengan biji berukuran besar dan akar yang lebih padat cenderung tumbuh lebih cepat
di bawah kondisi kekeringan. Sebaliknya, kandungan bahan kering daun (leaf dry matter
content/LDMC) memiliki hubungan negatif terhadap laju pertumbuhan. Selain itu, spesies
dengan massa biji lebih besar menunjukkan ketahanan yang lebih tinggi terhadap kelayuan
dibandingkan spesies dengan biji kecil. Untuk metode penaburan langsung, spesies yang tahan
kekeringan harus diprioritaskan, seperti Alangium rotundifolium dan Pyrenaria serrata.
Penelitian ketiga mengenai efektivitas teknologi peningkatan kualitas biji dan bahan aktif
dalam menghadapi cekaman kekeringan. Penelitian ini menilai pengaruh perlakuan SET,
seperti pelet dan priming dengan menambahkan asam salisilat dan KNO3, terhadap kesintasan
dan pertumbuhan awal anakan, terutama pada kondisi kekeringan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan dengan pelet dan priming yang mengandung bahan aktif secara
signifikan meningkatkan kesintasan anakan pada kapasitas lapang rendah (30%), namun tidak
memberikan manfaat yang nyata pada kondisi tanpa cekaman kekeringan. Pelet tanpa bahan
aktif juga meningkatkan kesintasan di bawah stres kekeringan, sementara priming tanpa bahan
aktif menurunkan tingkat kesintasan anakan.
Berdasarkan ketiga hasil penelitian tersebut, penaburan langsung direkomendasikan untuk
tapak dengan tingkat degradasi menengah dan kondisi tanah relatif subur, dengan
menggunakan spesies yang memiliki tingkat germinasi tinggi, waktu germinasi cepat (<4
minggu), serta toleransi sedang terhadap cekaman kekeringan. Namun, biji kecil yang cepat
bergerminasi cenderung rentan terhadap kekeringan, sehingga spesies dengan massa biji
menengah (0,01–1 g), memilikidormansi ringan, dan testa tipis lebih sesuai untuk
meningkatkan keberhasilan. Meskipun RSR dan LMA yang terlalu tinggi dikaitkan dengan
penurunan kesintasan di bawah kekeringan berat, karakter ini tetap relevan untuk mendukung
keberhasilan penaburan langsung pada tapak dengan degradasi menengah dan ketersediaan air
yang masih moderat.
Teknologi peningkatan kualitas biji, terutama pelet biji dengan KNO3, efektif meningkatkan
kesintasan anakan dengan cekaman kekeringan ekstrim, serta memudahkan penanganan biji
kecil. Meskipun menambah biaya, perlakuan ini memberikan manfaat nyata. Spesies pionir
seperti Ficus heterophylla, Ficus variegata, Medinilla exima, dan Toona sinensis cocok untuk
penaburan langsung di tapak terbuka melalui penerapan SET. Sementara itu, penanaman bibit
lebih tepat untuk spesies dengan dormansi kuat dan biji besar yang rentan terhadap
pemangsaan, dengan persemaian sebagai sarana pengendalian tumbuh awal. Pendekatan ini
direkomendasikan untuk spesies klimaks dan bernilai konservasi tinggi seperti Alangium
rotundifolium, Platea latifolia, dan Castanopsis argentea guna meningkatkan keberhasilan
restorasi.
Kontribusi utama disertasi ini terletak pada penekanan peran penting fase awal regenerasi
tumbuhan, mulai dari germinasi hingga pertumbuhan awal anakan, sebagai tahapan yang
menentukan keberhasilan restorasi berbasis biji, terutama di bawah cekaman kekeringan.
Dengan menggunakan pendekatan ekologi fungsional, penelitian ini memberikan pemahaman
mendalam mengenai bagaimana karakter fungsional biji dan anakan memengaruhi strategi
germinasi dan pertumbuhan awal anakan. Hasil penelitian ini tidak hanya memperkuat dasar
ilmiah dalam seleksi spesies yang adaptif terhadap kondisi kering, tetapi juga menyediakan
landasan praktis bagi pengembangan teknologi peningkatan kualitas biji yang lebih efektif
untuk meningkatkan keberhasilan restorasi di tapak yang terdegradasi.
Perpustakaan Digital ITB