digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Restorasi hutan tropis melalui penaburan langsung (direct seeding) merupakan pendekatan yang potensial karena menawarkan efisiensi logistik dan kebutuhan sumber daya yang lebih rendah dibandingkan dengan penanaman bibit. Namun, keberhasilan metode ini sangat bergantung pada fase awal regenerasi, khususnya proses germinasi biji dan pertumbuhan awal anakan yang rentan terhadap kegagalan, terutama cekaman lingkungan berupa kekeringan. Dalam hal ini, pendekatan karakter fungsional (functional trait) menjadi sangat relevan. Variabel seperti massa biji, ketebalan testa, panjang akar, dan luas daun spesifik berfungsi sebagai indikator yang memungkinkan prediksi kemampuan spesies untuk bertahan dan beradaptasi pada kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan. Karakter-karakter tersebut berkorelasi erat dengan strategi germinasi serta toleransinya terhadap cekaman kekeringan. Selain seleksi spesies berbasis karakter fungsional, pendekatan teknologi peningkatan kualitas biji (seed enhancement technology/SET) seperti priming dan pelapisan biji dengan bahan aktif, seperti asam salisilat dan kalium nitrat (KNO?), dapat memperbaiki kecepatan germinasi dan persentase germinasi serta meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan. Mekanisme kerja bahan aktif ini melibatkan stimulasi hormon tanaman dan perbaikan keseimbangan osmotik pada biji dan anakan muda. Namun demikian, efektivitas kedua pendekatan tersebut masih sedikit dikaji pada spesies tumbuhan berkayu tropis, khususnya yang berasal dari ekosistem pegunungan bawah Indonesia dengan karakteristik lingkungan yang khas. Oleh karena itu, karakterisasi sifat fungsional biji dan anakan serta evaluasi respons terhadap teknologi peningkatan kualitas biji sangat diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan dan efektivitas dari restorasi hutan berbasis biji. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi peran karakter fungsional biji dan anakan serta teknologi peningkatan kualitas biji dalam meningkatkan keberhasilan fase awal regenerasi tumbuhan di bawah cekaman kekeringan. Seluruh spesies yang digunakan merupakan spesies pohon lokal hutan pegunungan bawah yang belum banyak dimanfaatkan dalam restorasi hutan dan belum banyak dibudidayakan secara intensif, sehingga dikategorikan sebagai jenis nonkomersial pada disertasi ini. Seluruh eksperimen dilakukan dalam kondisi terkendali di laboratorium dan rumah kaca, yang terdiri atas tiga tahap. Pertama, dilakukan karakterisasi terhadap 31 spesies pohon berkayu dari hutan pegunungan bawah di Indonesia untuk mengungkap variasi karakter morfologi biji, viabilitas, dan strategi germinasi. Kedua, tujuh spesies terpilih dikaji lebih lanjut untuk mengevaluasi hubungan antara karakter fungsional anakan dan ketahanan terhadap cekaman kekeringan. Ketiga, lima spesies berbiji kecil yang menunjukkan performa rendah di bawah kekeringan diuji menggunakan teknologi priming dan pelapisan biji dengan bahan aktif (asam salisilat dan KNO?). Penelitian pertama dengan tema pengaruh karakter fungsional biji terhadap germinasi, mengungkap peran penting karakter fungsional biji, seperti dormansi, massa biji, dan ketebalan testa, dalam menentukan tingkat germinasi akhir serta waktu rata-rata germinasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dormansi biji berkorelasi negatif terhadap persentase germinasi akhir, biji yang tidak mengalami dormansi memiliki tingkat germinasi yang lebih tinggi dibandingkan biji dengan dormansi fisiologis, morfologis, morfofisiologis, maupun fisik. Selain itu, ketebalan testa dan rasio ketebalan testa terhadap ukuran biji cenderung menghambat germinasi dengan mengurangi kemampuan biji menyerap air dan merespon kondisi lingkungan. Massa biji juga berpengaruh terhadap waktu germinasi, di mana biji dengan massa lebih besar umumnya memerlukan waktu lebih lama untuk bergerminasi dibandingkan biji yang lebih kecil. Penelitian ini juga mengidentifikasi sepuluh spesies lokal tropis yang mampu bergerminasi dengan mudah tanpa memerlukan perlakuan khusus, yaitu Acer laurinum, Aphanamixis polystachya, Engelhardia serrata, Ficus fistulosa, Ficus ribes, Gaultheria leucocarpa, Maoutia diversifolia, Ormosia penangensis, Phyllanthus emblica, dan Saurauia pendula. Penelitian kedua mengenai pengaruh karakter fungsional terhadap kesintasan dan pertumbuhan di bawah cekaman kekeringan. Pada penelitian ini ditemukan bahwa rasio akar terhadap taruk (root-to-shoot ratio/RSR) dan massa daun per luas permukaan (leaf mass area/LMA) memiliki korelasi negatif dengan kesintasan anakan, terutama saat mengalami cekaman kekeringan berat. Variasi antar spesies cukup besar, dengan efek spesies memberikan kontribusi signifikan terhadap perbedaan kesintasan. Massa biji dan kandungan bahan kering akar (root dry matter content/RDMC) berasosiasi positif dengan laju pertumbuhan relatif, menunjukkan bahwa spesies dengan biji berukuran besar dan akar yang lebih padat cenderung tumbuh lebih cepat di bawah kondisi kekeringan. Sebaliknya, kandungan bahan kering daun (leaf dry matter content/LDMC) memiliki hubungan negatif terhadap laju pertumbuhan. Selain itu, spesies dengan massa biji lebih besar menunjukkan ketahanan yang lebih tinggi terhadap kelayuan dibandingkan spesies dengan biji kecil. Untuk metode penaburan langsung, spesies yang tahan kekeringan harus diprioritaskan, seperti Alangium rotundifolium dan Pyrenaria serrata. Penelitian ketiga mengenai efektivitas teknologi peningkatan kualitas biji dan bahan aktif dalam menghadapi cekaman kekeringan. Penelitian ini menilai pengaruh perlakuan SET, seperti pelet dan priming dengan menambahkan asam salisilat dan KNO3, terhadap kesintasan dan pertumbuhan awal anakan, terutama pada kondisi kekeringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan pelet dan priming yang mengandung bahan aktif secara signifikan meningkatkan kesintasan anakan pada kapasitas lapang rendah (30%), namun tidak memberikan manfaat yang nyata pada kondisi tanpa cekaman kekeringan. Pelet tanpa bahan aktif juga meningkatkan kesintasan di bawah stres kekeringan, sementara priming tanpa bahan aktif menurunkan tingkat kesintasan anakan. Berdasarkan ketiga hasil penelitian tersebut, penaburan langsung direkomendasikan untuk tapak dengan tingkat degradasi menengah dan kondisi tanah relatif subur, dengan menggunakan spesies yang memiliki tingkat germinasi tinggi, waktu germinasi cepat (<4 minggu), serta toleransi sedang terhadap cekaman kekeringan. Namun, biji kecil yang cepat bergerminasi cenderung rentan terhadap kekeringan, sehingga spesies dengan massa biji menengah (0,01–1 g), memilikidormansi ringan, dan testa tipis lebih sesuai untuk meningkatkan keberhasilan. Meskipun RSR dan LMA yang terlalu tinggi dikaitkan dengan penurunan kesintasan di bawah kekeringan berat, karakter ini tetap relevan untuk mendukung keberhasilan penaburan langsung pada tapak dengan degradasi menengah dan ketersediaan air yang masih moderat. Teknologi peningkatan kualitas biji, terutama pelet biji dengan KNO3, efektif meningkatkan kesintasan anakan dengan cekaman kekeringan ekstrim, serta memudahkan penanganan biji kecil. Meskipun menambah biaya, perlakuan ini memberikan manfaat nyata. Spesies pionir seperti Ficus heterophylla, Ficus variegata, Medinilla exima, dan Toona sinensis cocok untuk penaburan langsung di tapak terbuka melalui penerapan SET. Sementara itu, penanaman bibit lebih tepat untuk spesies dengan dormansi kuat dan biji besar yang rentan terhadap pemangsaan, dengan persemaian sebagai sarana pengendalian tumbuh awal. Pendekatan ini direkomendasikan untuk spesies klimaks dan bernilai konservasi tinggi seperti Alangium rotundifolium, Platea latifolia, dan Castanopsis argentea guna meningkatkan keberhasilan restorasi. Kontribusi utama disertasi ini terletak pada penekanan peran penting fase awal regenerasi tumbuhan, mulai dari germinasi hingga pertumbuhan awal anakan, sebagai tahapan yang menentukan keberhasilan restorasi berbasis biji, terutama di bawah cekaman kekeringan. Dengan menggunakan pendekatan ekologi fungsional, penelitian ini memberikan pemahaman mendalam mengenai bagaimana karakter fungsional biji dan anakan memengaruhi strategi germinasi dan pertumbuhan awal anakan. Hasil penelitian ini tidak hanya memperkuat dasar ilmiah dalam seleksi spesies yang adaptif terhadap kondisi kering, tetapi juga menyediakan landasan praktis bagi pengembangan teknologi peningkatan kualitas biji yang lebih efektif untuk meningkatkan keberhasilan restorasi di tapak yang terdegradasi.