digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Perkembangan sistem komunikasi seluler di dunia tumbuh semakin pesat, yang tak lepas dari upaya untuk meningkatkan kinerja sistem guna memenuhi permintaan atas kebutuhan jaringan nirkabel yang lebih cepat, aman, dan smart. Kondisi ini tentunya harus didukung oleh sistem dan teknologi yang mutakhir. Secara global, layanan telekomunikasi mengandalkan dua sistem komunikasi nirkabel yaitu terestrial dan satelit. Kedua sistem masih memiliki keterbatasan, sehingga hadirlah alternatif baru berupa sistem komunikasi non-terestrial berbasis High Altitude Platforms (HAP) dan Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Pada tahun 1990-an dan 2000-an, HAP telah dipelajari secara ekstensif sebagai solusi komunikasi. Namun, adanya keterbatasan teknologi, terutama yang berkaitan dengan suplai daya, baterai, dan aeronautika, membuat hanya sedikit proyek penelitian yang berlanjut. Seiring dengan kemajuan teknologi pendukung utama dalam hal material, baterai, dan penyerapan energi dalam beberapa tahun terakhir, disertai dengan investasi modal yang cukup dari beberapa perusahaan, pengembangan HAP sebagai salah satu stasiun komunikasi (HAPS) telah kembali mendapat perhatian publik. Sementara itu, standar telekomunikasi seluler telah memasuki generasi kelima atau 5G, yang dikembangkan untuk menciptakan teknologi dengan peningkatan kapasitas, throughput, dan kecepatan data. Dengan penerapan sistem HAPS – 5G, ketersediaan konektivitas global di masa mendatang akan semakin terbuka lebar dan mendapat dukungan serta mampu meningkatkan jangkauan komunikasi yang efektif. HAPS yang dipandang sebagai suatu inovasi telekomunikasi nirkabel, merupakan sistem komunikasi atau platform penerbangan dengan awak (manned) dan tanpa awak (unmanned) yang beroperasi di lapisan stratosfer pada ketinggian 17 – 22 km. Sebagai gabungan dari keunggulan sistem komunikasi terestrial dan satelit, pada HAPS akan ada cakupan area yang luas, delay propagasi yang rendah, memungkinkan ketersediaan komunikasi Line-of-Sight (LOS), serta kebutuhan infrastruktur, biaya pengembangan dan implementasi yang lebih kecil. Di sisi lain, UAV yang beroperasi pada ketinggian beberapa ratus meter juga menawarkan fleksibilitas operasional dan efisiensi jangkauan, meskipun memiliki tantangan teknis yang berbeda, khususnya terkait daya jangkau dan daya tahan terbang Seiring meningkatnya kebutuhan akan jaringan berkecepatan tinggi, kapasitas sistem komunikasi, yang umumnya diukur melalui parameter seperti data rate, throughput, atau achievable rate, menjadi sangat krusial untuk diperhatikan. Dalam konteks layanan 5G, tidak hanya throughput yang harus tinggi, tetapi juga harus mampu mempertahankan kualitas layanan secara konsisten pada berbagai kondisi kanal. Oleh karena itu, menjaga kapasitas sistem agar tetap memenuhi persyaratan minimal merupakan tantangan yang tidak dapat diabaikan. Evaluasi dan strategi untuk menjaga serta meningkatkan kapasitas sistem dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik teknis dari platform, baik HAPS maupun UAV, melalui tiga aspek analisis. Pertama, menganalisis pengaruh posisi platform terhadap data rate yang diterima perangkat pengguna (User Equipment; UE), karena posisi relatif HAPS atau UAV terhadap UE memengaruhi jarak, probabilitas LOS, dan kanal. Pada umumnya, sering kali diasumsikan bahwa dengan menempatkan HAPS di posisi tengah, sebaran UE akan menghasilkan data rate yang seragam karena jarak yang relatif sama, sehingga sum rate sistem menjadi optimal. Namun, berdasarkan simulasi yang telah dilakukan, ditemukan bahwa penempatan HAPS tepat di tengah-tengah UE belum tentu menghasilkan sum rate yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa jarak, dalam artian disini adalah posisi HAPS dan UE, sangat mempengaruhi performa sistem. Sementara itu, setelah memastikan bahwa sum rate sudah berada di bawah kapasitas backhaul, selanjutnya dilakukan optimasi guna memilih kombinasi daya tiap UE yang menghasilkan total daya minimum. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ketika konfigurasi antena N=32?32, total daya yang dibutuhkan hanya 40 mW. Nilai ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan konfigurasi awal saat N=16×16 yang memerlukan daya sebesar 399 mW. Dengan demikian, peningkatan jumlah elemen antena dapat menghemat daya sekitar 90%. Temuan ini mengindikasikan bahwa peningkatan jumlah elemen antena tidak hanya berdampak pada peningkatan kinerja data rate, tetapi juga secara signifikan dapat mengurangi kebutuhan daya sistem. Aspek analisis yang kedua adalah mengkaji pengaruh konfigurasi numerologi dalam sistem 5G, seperti variasi subcarrier spacing dan durasi slot, terhadap throughput dan probabilitas outage. Analisis pengaruh konfigurasi numerologi (?=0, 1, dan 2) terhadap jumlah UE aktif yang dapat dilayani pada dua kondisi probabilitas outage, yaitu kondisi sangat rendah (????out = 10?12) dan pada kondisi yang masih dapat dikategorikan sebagai komunikasi yang layak (????out = 10?2). Pada ?=1 dan ????out = 10?12, hanya 10,56% UE aktif yang dapat dilayani, artinya mengalami penurunan sekitar 89,44% dibanding dengan ?=0 yang mampu melayani 180 UE. Sementara pada ?=2, jumlah UE aktif yang dilayani kurang dari 1%. Untuk kondisi ????out = 10?12, persentase UE aktif adalah 43,15% (?=1) dan 16,89% (?=2), dibandingkan dengan ?=0 yang mampu melayani 438 UE. Hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan numerologi cenderung menurunkan jumlah UE aktif yang dapat dilayani, terutama dalam skenario dengan ambang outage yang ketat. Ketika pengaruh numerologi dilihat terhadap kapasitas sistem melalui parameter numerologi, bandwidth, jumlah antena, dan skema modulasi, penelitian ini merekomendasikan penggunaan konfigurasi numerologi dan modulasi yang rendah untuk lingkungan rural. Hasil simulasi menunjukkan bahwa konfigurasi numerologi rendah (?=0) memberikan kinerja BER terbaik, dengan nilai BER mencapai 10?5 pada SNR 25 dB. Sebaliknya, numerologi tinggi (?=2) hanya mampu mencapai BER sekitar 10?3 pada kondisi SNR yang sama. Pada sisi modulasi, skema orde rendah seperti QPSK mampu mencapai BER < 10?6 pada SNR 15 dB, sementara 256-QAM masih mencatat BER sekitar 10?1 bahkan pada SNR 30 dB. Dari sini dapat ditunjukkan bahwa kombinasi numerologi dan modulasi orde rendah lebih andal untuk kanal dengan kualitas sinyal yang fluktuatif, seperti pada daerah rural. Modulasi 64-QAM dapat dipertimbangkan pada kondisi kanal yang lebih baik dengan kebutuhan data rate yang tinggi, namun hanya jika sistem mendukung skema modulasi adaptif. Dengan demikian, sistem dapat secara otomatis beralih ke QPSK untuk menjaga kestabilan komunikasi saat kualitas kanal menurun. Strategi peningkatan kapasitas sistem pada aspek analisis yang ketiga adalah dengan melakukan optimasi bersama (joint optimization) yang meliputi penentuan posisi optimal, perancangan vektor beamforming, dan alokasi daya pancar yang tepat, guna memaksimalkan achievable rate sekaligus memenuhi batasan kapasitas backhaul dan kebutuhan minimum setiap UE. Awalnya, algoritma Alternating Interference Suppression (AIS) diadaptasi untuk pengguna jamak (multi-UE), yang solusinya dengan dekomposisi menjadi dua sub-masalah iteratif, yakni mengoptimalkan lokasi UAV dan kemudian memecahkan masalah beamforming dan distribusi daya. Namun, adaptasi untuk multi-UE ini kembali menghadirkan permasalahan non-konveksitas, sehingga masalah tersebut dirumuskan ulang menggunakan pendekatan aproksimasi orde pertama. Pendekatan yang diusulkan menunjukkan peningkatan tiga kali lipat dalam achievable rate dan peningkatan efisiensi daya sebesar 40,85% dibandingkan dengan sistem yang tidak dioptimalkan. Strategi ketiga ini menjadi kunci dari penelitian yang dilakukan, di mana untuk menyelesaikan non-konveksitas pada optimasi beamforming dengan multi-UE, diperoleh solusi melalui pendekatan orde pertama. Melalui pendekatan tersebut, diharapkan sistem komunikasi non-terestrial seperti HAPS dan UAV tidak hanya mampu memperluas cakupan layanan 5G, tetapi juga memastikan kualitas koneksi yang adaptif dan efisien sesuai dengan karakteristik lingkungan yang dilayaninya. Seluruh strategi peningkatan kapasitas tersebut telah divalidasi melalui simulasi berbasis MATLAB, dengan skenario realistis menggunakan kanal Rician, konfigurasi antena Uniform Planar Array (UPA), dan UE yang terdistribusi acak. Simulasi ini membuktikan bahwa pendekatan optimasi yang dirancang mampu secara signifikan meningkatkan achievable rate serta mempertahankan konektivitas yang andal, bahkan pada kondisi kanal yang kompleks dan dinamis.