digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Ketergantungan besar Indonesia pada batu bara untuk pembangkit listrik menimbulkan tantangan lingkungan hidup yang besar. Negara ini telah menetapkan target energi terbarukan yang ambisius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan transisi menuju sumber energi yang lebih berkelanjutan. Co-firing biomassa, yang melibatkan substitusi sebagian batubara dengan biomassa di pembangkit listrik tenaga batubara yang ada, telah muncul sebagai strategi yang menjanjikan untuk meningkatkan bauran energi Indonesia tanpa memerlukan modifikasi besar-besaran pada infrastruktur yang ada. Dengan memanfaatkan sumber daya biomassa yang tersedia secara lokal seperti residu pertanian, limbah kehutanan, dan tanaman energi, co-firing biomassa menawarkan potensi untuk mengurangi emisi karbon sekaligus menjaga keamanan energi, mengurangi ketergantungan pada impor batu bara, dan menstimulasi perekonomian pedesaan melalui peningkatan permintaan produksi biomassa. Meskipun memiliki keuntungan yang menjanjikan, penerapan co-firing biomassa dalam skala besar menghadirkan tantangan kompleks yang memerlukan analisis holistik. Kelayakan co-firing biomassa dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang saling bergantung, termasuk ketersediaan bahan bakar, logistik rantai pasokan, kelayakan ekonomi, kompatibilitas teknologi, dan kerangka peraturan. Tantangan utamanya adalah pembentukan rantai pasokan biomassa yang andal dan berkelanjutan yang dapat memenuhi permintaan pembangkit listrik secara konsisten. Berbeda dengan batubara, sumber biomassa memiliki kualitas, kandungan energi, dan tingkat kelembapan yang bervariasi, sehingga dapat mempengaruhi efisiensi pembakaran dan operasional pembangkit listrik. Selain itu, kekhawatiran mengenai efektivitas biaya pengadaan, transportasi, dan pengolahan biomassa dibandingkan dengan batubara menimbulkan pertanyaan mengenai keberlanjutan finansialnya. Tanpa insentif ekonomi yang memadai dan kebijakan yang terstruktur dengan baik, operator pembangkit listrik mungkin akan ragu untuk menerapkan co-firing dalam skala besar. Selain itu, ketidakpastian kebijakan dan peraturan semakin mempersulit penerapan co-firing biomassa, karena diperlukan insentif yang jelas dan mekanisme dukungan pemerintah untuk menarik investasi dan mendorong partisipasi industri. Kebijakan co-firing biomassa yang efektif harus memperhatikan harga bahan baku, kebijakan penggunaan lahan, insentif pengurangan emisi, dan subsidi agar biomassa menjadi alternatif yang kompetitif secara ekonomi dibandingkan batubara. Untuk mengatasi berbagai tantangan ini, penelitian ini menggunakan pendekatan pemikiran sistem untuk menganalisis hubungan antara faktor-faktor yang terlibat dalam co-firing biomassa di Indonesia. Pemikiran sistem adalah metodologi holistik yang memungkinkan identifikasi komponen utama, interaksi, putaran umpan balik, dan titik pengaruh dalam sistem yang kompleks. Studi ini menggunakan analisis data kualitatif yang dikumpulkan melalui sesi wawancara dengan pemangku kepentingan energi dan ketenagalistrikan, termasuk pemerintah, produsen listrik nasional, dan pemasok biomassa. Empat causal loop diagram dibangun untuk memahami hubungan antara faktor-faktor yang terlibat. Dengan memetakan keterhubungan antar pemangku kepentingan, termasuk pembuat kebijakan, produsen energi, pemasok biomassa, studi ini memberikan wawasan mengenai hambatan sistemik dan fasilitator yang mempengaruhi adopsi co-firing biomassa. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa keberhasilan penerapan co-firing biomassa memerlukan pendekatan terpadu yang selaras dengan beberapa faktor. Studi ini menemukan 44 faktor yang mempengaruhi sistem co-firing biomassa untuk listrik, yang berasal dari tujuh kategori, termasuk faktor terkait biomassa, kelayakan ekonomi, pemerintah, karakteristik kelembagaan, kepraktisan teknis, dan energi baru terbarukan/bioenergi. Tiga kategori utama telah diidentifikasi sebagai permasalahan penting, yaitu kepraktisan teknis, karakteristik kelembagaan, dan kelayakan ekonomi, yang menyoroti pengaruh faktor-faktor ini dalam membentuk sistem. Temuan ini menekankan perlunya kebijakan dan investasi yang terkoordinasi dalam rantai pasok biomassa. Selain itu, memperkuat kolaborasi antara lembaga pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat lokal sangat penting untuk memastikan pasokan biomassa yang stabil dan mendukung pembangunan ekonomi pedesaan. Studi ini berkontribusi pada pemahaman integrasi biomassa di sektor ketenagalistrikan dan menawarkan rekomendasi strategis untuk mempercepat transisi energi berkelanjutan di Indonesia.