digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis signifikansi sektor pertambangan dan efektivitas pemekaran wilayah terhadap perekonomian di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara sebelum dan pasca pemekaran wilayah. Penelitian ini akan meninjau perkembangan ekonomi, perubahan/pergeseran struktur ekonomi serta keterkaitan/hubungan sektor pertambangan dengan sektor ekonomi lainnya di kedua provinsi tersebut. Pemekaran wilayah dilakukan pada tahun 2012 dengan harapan dapat mengurangi ketimpangan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah baru. Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis kuantitatif berbasis data sekunder, seperti Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), /ndeks Williamson untuk mengukur ketimpangan wilayah, Location Quotient (LQ) untuk menganalisis sektor unggulan, Shift-Share (SS) untuk menganalisis pergeseran struktur perekonomian dan analisis Input-Output (I-O) serta metode Auto-Regressive Distributed Lag (ARDL) dan Error Correction Model (ECM) untuk menilai kontribusi sektoral dan keterkaitan antar sektor. Data yang digunakan mencakup periode sebelum pemekaran (2003— 2012) dan setelah pemekaran (2013-2023). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum pemekaran, PDRB Kalimantan Timur tumbuh stabil dari 294.101 miliar menjadi 424.703 miliar, sementara Kalimantan Utara meningkat dari 22.277 miliar menjadi 40.883 miliar. Pasca pemekaran, pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur mengalami perlambatan dengan rata-rata 2,20%, sedangkan Kalimantan Utara tumbuh lebih cepat dengan rata-rata 5,04%, mencerminkan dampak positif pemekaran. Struktur ekonomi Kalimantan Timur tetap didominasi oleh pertambangan yang meningkat dari 41% menjadi 48,9%, sementara Kalimantan Utara mempertahankan struktur yang lebih berimbang dengan pertumbuhan sektor pertambangan menjadi 27%, pertanian 18%, dan perdagangan 10%. Indeks Willianson menunjukkan penurunan ketimpangan ekonomi, dengan Kalimantan Timur mengalami penurunan dari 14,035 (2003) menjadi 5,0493 (2023), dan Kalimantan Utara dari 4,8778 (2012) menjadi 2,5522 (2023), yang menandakan bahwa pemekaran berkontribusi pada pemerataan pembangunan. Berdasarkan analisis LQ dan SS, sektor pertambangan tetap unggulan di kedua provinsi, tetapi mengalami perbedaan dinamika. Di Kalimantan Timur, sektor ini mengalami Differential Shift negatif (-8,44%) dan berada di Kuadran IV, dipengaruhi fluktuasi harga komoditas dan diversifikasi ekonomi. Sementara itu, Kalimantan Utara mencatat Shift positif (17,41%) di Kuadran II, mencerminkan daya saing tinggi berkat optimalisasi sumber daya alam. Secara keseluruhan, pemekaran meningkatkan daya saing sektor pertambangan di Kalimantan Utara, sementara Kalimantan Timur menghadapi tantangan pertumbuhan. Keterkaitan sektor pertambangan dengan sektor lain mengalami peningkatan pasca pemekaran, dengan Kalimantan Timur memperkuat perannya dalam rantai industri hilir melalui peningkatan Backward Linkage (BL) dari 0,902 menjadi 0,972 dan Forward Linkage (FL) dari 1,156 menjadi 1,456. Sementara itu, di Kalimantan Utara, BL tetap rendah di 0,953, sementara FL meningkat menjadi 1,446, mencerminkan kontribusi besar dalam sektor hilir namun dampak yang masih terbatas terhadap sektor lain. Hasil ARDU/ECM menunjukkan bahwa pertambangan memiliki kontribusi signifikan terhadap laju pertumbuhan PDRB di kedua provinsi, dengan Kalimantan Timur bergantung pada scktor ini scbagai pilar utama (koefisien 5,84 x 10°'%), sedangkan di Kalimantan Utara, pertumbuhan sektor ini lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal (koefisien 8,01 x 10"'*). Secara keseluruhan, pemekaran wilayah memberikan dampak positif terhadap pemerataan pembangunan dan peningkatan daya saing pertambangan di Kalimantan Utara, sementara Kalimantan Timur menghadapi tantangan diversifikasi ekonomi guna mengurangi ketergantungan terhadap scktor pertambangan.