








Pembangkit listrik konvensional yang menggunakan bahan bakar fosil merupakan
sumber energi utama, dengan batubara menempati porsi terbesar. Perlu dicatat
bahwa Indonesia memiliki sekitar 3% cadangan batubara dunia. Meskipun dinilai
memberikan kestabilan pasokan energi, penggunaan bahan bakar fosil telah
dihadapkan pada kritik dunia karena dampak lingkungannya yang signifikan dan
menjadi perhatian negara-negara di dunia, oleh karena itu penting untuk
menerapkan berbagai tindakan untuk penurunan emisi. Tesis ini bertujuan untuk
menyelidiki pengaruh berbagai persentase co-firing pada kinerja PLTU
(Pembangkit Listrik Tenaga Uap) dengan menggunakan biomassa sebagai bahan
bakar tambahan. Praktik co-firing ini tentunya dengan berbagai kendalanya salah
satu yang menjadi perhatian adalah terkait pasokan suplai sebagai bahan bakar
campuran yang tidak konsisten berdasarkan resource yang tersedia saat ini. Studi
ini bertujuan membantu melakukan simulasi perhitungan untuk mencari berbagai
perhitungan yang diperlukan untuk mencari titik optimasi perbandingan NPHR dan
BPP, hingga memberikan rekomendasi solusi yang tepat sasaran untuk operasi
PLTU Ampana secara continous. Metode pada penelitian ini memulai dengan
sebuah tinjauan literatur yang mendalam untuk memahami konsep co-firing, kinerja
PLTU, dan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi pembakaran serta hasil uji
emisi dari pembakaran. Dengan menggabungkan hasil penelitian terdahulu, tesis ini
merancang sebuah eksperimen yang melibatkan berbagai rasio co-firing mulai dari
3% hingga 100% berdasarkan referensi dari pengujian yang sudah dilakukan
sebelumnya. Selama fase eksperimen, data yang relevan dikumpulkan untuk
mengevaluasi kinerja PLTU pada setiap tingkat co-firing. Faktor-faktor seperti
efisiensi pembakaran, emisi, dan kinerja peralatan keseluruhan dianalisis
menggunakan metode statistik deskriptif dan analisis regresi. Terdapat pengaruh
terhadap variasi kinerja PLTU pada berbagai persentase co-firing (10% dan 20%)
dan coal firing 100% batubara. Meskipun terdapat peningkatan dalam beberapa
aspek kinerja pada tingkat co-firing tertentu, kinerja optimal PLTU belum tentu
tercapai pada tingkat co-firing tertinggi. Temuan ini menunjukkan pentingnya
memahami trade-off antara efisiensi dan emisi dalam menggunakan co-firing. Tesis
ini memberikan kontribusi signifikan dalam penentuan keputusan dalam
implementasi co-firing yang optimal mempertimbangkan berbagai aspek pada
operasi yang lebih baik. Hasil dari penelitian ini yaitu mencari nilai NPHR dan
Biaya Pokok Produksi Komponen C yang dapat menjadi acuan perolehan dari
resource lain. Pada perhitungan yang didasarkan dari perhitungan menggunakan
simulasi dari suplai gorontalo terdapat deviasi yang cukup tinggi jika dibandingkan
dengan perolehan dari lokal site Ampana, yaitu perolehan dari Gorontalo Pada cofiring
3% menunjukkan Biaya Pokok Produksi Rp. 259.574,-/kWh, co-firing 10%
Rp 1.894.572,-/kWh. Kemudian co-firing dengan persentase terbesar 90% yaitu Rp.
176.819.438,-/kWh. Perhitungan ini sangat menegaskan bahwa hasilnya
perolehannya sangat besar untuk diterapkan untuk operasi unit. Tentu saja nilai
tersebut apabila dibandingkan dengan harga perolehan yang didapat dari petani
lokal dengan harga Rp 461,99,-/kg dan harga Biaya Pokok Produksi hanya sebesar
Rp. 1.455,60,-/kWh pada co-firing 3%, Rp. 1.468,15,-/kWh untuk co-firing 10%
dan Rp. 1.459,91,-/kWh pada co-firing 20%, tentu saja hal yang sangat tidak layak
untuk diterapkan. Adapun nilai yang sangat besar tersebut diakibatkan oleh biaya
trasnportasi yang ditempuh dari Provinsi Gorontalo menuju PLTU Ampana.
Sehingga dari perhitungan yang tidak layak tersebut perlu mencari alternatif
biomasa lain sebagai substitusi pohon lamtoro diantaranya yaitu sabut kelapa dan
tongkol jagung yang bisa dimanfaatkan, tentu saja melalui tahapan-tahapan kajian
teknis yang dibutuhkan.